Ekonomi

Sejarah THR: Mengapa Menjadi Kewajiban untuk Pekerja

Sejarah THR: Mengapa Menjadi Kewajiban untuk Pekerja
Sejarah THR: Mengapa Menjadi Kewajiban untuk Pekerja/(ilustrasi/@freefik)

PenaKu.ID – Tunjangan Hari Raya (THR) Idulfitri telah menjadi momen yang dinantikan setiap tahun oleh jutaan pekerja di Indonesia.

Sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras dan dedikasi, THR bukan hanya sekadar bonus tambahan, melainkan simbol penghargaan dari perusahaan kepada karyawannya.

Kali ini mengulas secara mendalam asal-usul dan perjalanan panjang kebijakan THR, yang bermula dari inisiatif pemerintah hingga perjuangan gigih para buruh swasta agar hak mereka terpenuhi.

THR awalnya dikenal dengan istilah Persekot Lebaran, yakni uang yang dibayarkan di muka menjelang hari raya. Konsep ini pertama kali diterapkan pada tahun 1951 ketika Presiden Soekarno meresmikan Kabinet Sukiman.

Dalam kabinet tersebut, pegawai negeri sipil—yang pada masa itu dikenal sebagai pamong praja—diberikan tunjangan menjelang Idulfitri sebagai bentuk jaminan finansial untuk menyambut hari besar.

Namun, kebijakan ini hanya terbatas pada pegawai negeri sehingga menimbulkan ketimpangan, terutama bagi pekerja swasta yang merasa kurang mendapatkan keadilan.

Awal Mula THR atau disebut Tunjangan Hari Raya

Pada tahun 1951, Indonesia tengah berada pada fase pembangunan identitas nasional pasca kemerdekaan.

Di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno dan Kabinet Sukiman, pemerintah mulai memperkenalkan kebijakan tunjangan menjelang Idulfitri untuk pegawai negeri sipil.

Kebijakan ini dilahirkan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan dan memberikan semangat bagi para PNS dalam menghadapi perayaan besar.

Meskipun pada awalnya dikenal sebagai Persekot Lebaran, penerapannya masih bersifat eksklusif bagi PNS, sehingga menyisakan celah bagi pekerja di sektor swasta yang juga membutuhkan dukungan finansial pada momen Idulfitri.

Perjuangan Buruh Swasta Menuju THR yang Adil

Merespons ketidaksetaraan tersebut, para buruh swasta mulai menyuarakan tuntutan agar hak mereka juga diakui. Pada 13 Februari 1952, aksi mogok kerja digelar sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap diskriminatif.

Perjuangan ini berlangsung selama dua tahun dan akhirnya menarik perhatian pemerintah. Pada tahun 1954, Perdana Menteri SM Abidin mengeluarkan surat edaran yang mengimbau perusahaan untuk memberikan hadiah lebaran kepada buruh dengan besaran 1/12 dari upah mereka.

Meski demikian, karena sifat imbauan, tuntutan buruh masih belum sepenuhnya terwujud.

Perjuangan semakin mendapatkan momentum pada era Demokrasi Terpimpin. Menteri Ketenagakerjaan saat itu, Ahem Erningpraja, mengeluarkan peraturan pada tahun 1961 yang menetapkan bahwa setiap pekerja yang telah bekerja minimal tiga bulan wajib menerima hadiah lebaran.

Kebijakan inilah yang meletakkan dasar bagi penerapan THR secara menyeluruh di seluruh sektor, baik negeri maupun swasta. Kemudian, pada tahun 1994, istilah “Tunjangan Hari Raya” resmi diperkenalkan melalui peraturan Kementerian Tenaga Kerja, menegaskan komitmen pemerintah dalam memberikan keadilan bagi seluruh pekerja.

Tak hanya itu, upaya pemerintah dalam memberikan kesejahteraan menjelang Idulfitri telah dimulai sejak tahun 1950. Lewat kantor Perwakilan Republik Indonesia Serikat (RIS) di New York, pemerintah bahkan sempat membagikan bantuan berupa tekstil kepada masyarakat yang mencapai jutaan penduduk, tanpa memandang latar belakang agama.

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya momen Idulfitri dalam budaya dan kehidupan sosial Indonesia.

Ikuti dan Update Berita dari PenaKu.ID di Google News

**

Exit mobile version