PenaOpini

Remis[i] Yang Tak Dirindukan

Remis[i] Yang Tak Dirindukan
Remis[i] Yang Tak Dirindukan Oleh: Putri Efhira Farhatunnisa

Remis merupakan kerang-kerangan kecil yang bisa kita jumpai di dasar sungai, kerang satu ini juga bisa dijadikan menu lezat santapan keluarga. Namun remis yang kini menjadi sorotan publik bukanlah yang ditunggu-tunggu keluarga, namun bisa jadi keluarga geram dibuatnya.

Remis yang satu ini adalah remisi koruptor, hal ini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Pasalnya remisi ini dinilai bisa menumbuhsuburkan koruptor dan bentuk penghianatan terhadap rakyat.

Iqbal Felesiano, pakar hukum pidana Universitas Airlangga mengatakan bahwa pemberian remisi pada narapidana korupsi mencederai rasa keadilan masyarakat, berpotensi menjadikan korupsi hanya kejahatan biasa, dan tidak memberikan efek jera pada koruptor. Meski secara legal, tidak ada aturan hukum yang melarang setelah Mahkamah Agung mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan yang mengatur pengetatan remisi untuk koruptor.

Apa itu remisi? Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan pada narapidana yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dan remisi koruptor adalah remisi yang diberikan pada koruptor, dengan syarat wajib sudah membayar denda dan uang pengganti. Setelahnya mantan napi koruptor bisa kembali bebas melanglang buana, bahkan menyalonkan diri asalkan telah memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku.

Jika kerang remis bisa didapatkan oleh semua kalangan, remisi ini hanya didapat oleh rakyat VIP yang memiliki harta dan kekuasaan, hukum saat ini memang tajam ke bawah tumpul ke atas. Bukannya tegas memberantas koruptor, sistem ini malah memupuk budaya korupsi tetap tumbuh subur.

Padahal korupsi merupakan salah satu tindak kejahatan, karena mengambil yang bukan haknya. Remisi ini jelas membuat warga gaduh, bagaimana tidak? Jika remisi diberikan pada koruptor, maka mantan koruptor tersebut berpeluang besar untuk kembali melakukan tindak kejahatan yang sama.

Dengan dalih telah sesuai aturan, adanya remisi koruptor ini pemerintah sama saja telah melegitimasi aksi kejahatan tikus berdasi. Bukannya mengeluarkan hukuman yang berat bagi koruptor, pemerintah malah membuat mereka leluasa berkeliaran, bahkan hingga ke kursi pemerintahan.

Hak untuk kontestasi politik tidak dicabut, dan hal ini berarti memberikan ruang bagi siapapun termasuk mantan napi untuk menduduki kursi pemerintahan. Artinya pemerintah telah memberikan kesempatan pada tikus berdasi untuk kembali menggerogoti uang rakyat.

Demokrasi berbasis akidah sekulerisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan, telah memberikan kedaulatan secara penuh pada manusia untuk membuat aturan sesuka hati. Manusia yang seringkali dikuasai nafsu, tentu aturannya pun akan dibuat sekehendak dirinya.

Aturan akan dibuat untuk kepentingannya sendiri, sedangkan mengurusi urusan rakyat hanyalah kedok semata. Hal ini bisa terbukti dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat ini.

Remis[i] Koruptor

Termasuk remisi koruptor ini, tikus yang menggerogoti dilindungi sedangkan rakyat dibuat sengsara oleh kebijakan mencekik dengan segudang alibi.

Mahalnya kontestasi politik demokrasi pun menjadi penyebab para koruptor bisa tumbuh subur di negeri ini. Dengan kebijakan dan keadaan yang mendukung, maka kasus korupsi akan terus berulang tanpa henti, hanya mungkin ganti pemain.

Namun dengan remisi koruptor ini, berarti pemain yang sama bisa beraksi berulang kali. Sungguh keadaan negeri ini kian hari bertambah miris.

Hal ini berbanding terbalik dengan Islam, karena dalam Islam kedaulatan tidak pada tangan manusia. Melainkan milik Sang Khaliq yang Maha Mengetahui, maka manusia tidak bisa membuat aturan sekehendak dirinya. Semua tetap harus merujuk pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dalam Islam, hukum tidak pandang bulu dan memberi efek jera. Artinya siapapun bisa dihukum tanpa terkecuali. Bahkan Rasulullah SAW saja pernah bersabda, seandainya putrinya mencuri maka beliau sendiri yang akan memotong tangannya.

“….Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah puteri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.”(HR. Bukhari no. 4304 dan Muslim no. 1688).

Ketegasan sanksi dalam hukum Islam telah jelas, juga akan menimbulkan efek jera agar selanjutnya tidak melakukan kejahatan yang sama. Sistem pemerintahan Islam mempunyai cara untuk mencegah dan menindak tegas para koruptor.

Dimulai dari saat pengangkatan pejabat, yang dipilih tidak hanya diperhatikan dari profesionalitasnya saja, namun juga ditetapkannya adil dan takwa sebagai syarat kelayakan. Pejabat negara juga dilarang menerima hadiah dan suap.

Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Imam Ahmad)

Lalu akan ada perhitungan kekayaan ketika sebelum dan sesudah masa jabatan. Jika ada selisih yang kurang masuk akal setelah diakumulasi, maka negara berhak mengambilnya.

Hukuman yang ditetapkan pun tegas dan keras, tidak bisa dinegoisasi apalagi dimutilasi. Sanksinya bisa berupa publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Dalam hal ini masyarakat juga memiliki tugas untuk mengawasi para pejabat.

Masyarakat harus ikut mengawasi jalannya pemerintah dan peka terhadap keadaan pemerintahan. Agar ketika ada aparat yang menyimpang dari ajaran Islam akan langsung terendus dan ditindaklanjuti. Bukannya menjadi buta dan tuli terhadap ketidakberesan kondisi pemerintahan, karena hal ini akan berdampak juga pada masyarakat.

Berjalannya pemerintahan yang baik harus didukung oleh sistem pemerintahan itu sendiri, sistem yang digunakan haruslah sistem yang benar dan sempurna yaitu sistem Islam. Lalu masyarakat yang senantiasa mengawasi jalannya pemerintahan dan individu yang bertakwa.

Jadi untuk memberantas tikus berdasi haruslah dibasmi dari sarangnya tempat mereka berkembang biak, karena demokrasi hanya melegitimasi berbagai kebijakan dzalim pada rakyat.

Program remisi koruptor ini telah menjadi salah satu buktinya, bahwa sistem rusak ini tidak berpihak pada rakyat.

Demokrasi ini hanya akan membiarkan wabah penderitaan semakin meluas. Maka tak ada solusi lain selain menerapkan aturan Islam.

Wallahua’lam bishshawab.

**

Exit mobile version