PenaEkonomi

Prediksi IHSG Bursa Efek Indonesia: Pergerakan Mixed di Tengah Penantian Data Inflasi AS

Prediksi IHSG Bursa Efek Indonesia: Pergerakan Mixed di Tengah Penantian Data Inflasi AS
Prediksi IHSG Bursa Efek Indonesia/(ilustrasi/@pixabay)

PenaKu.IDIndeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa pagi, 12 November 2024, diperkirakan bergerak variatif.

Hal ini terjadi di tengah sikap “wait and see” pelaku pasar terhadap data inflasi Amerika Serikat (AS) yang akan segera dirilis. IHSG dibuka menguat sebesar 6,27 poin atau 0,09 persen ke posisi 7.272,72, sementara Indeks LQ45 yang mencakup 45 saham unggulan naik 1,00 poin atau 0,11 persen ke level 880,10.

Ratih Mustikoningsih, seorang Financial Expert dari Ajaib Sekuritas, memproyeksikan bahwa IHSG akan mengalami pergerakan “mixed” dengan kisaran 7.150 hingga 7.300 pada perdagangan hari ini.

Dalam kondisi pasar yang penuh ketidakpastian seperti saat ini, investor perlu memperhatikan faktor-faktor eksternal maupun internal yang memengaruhi IHSG, termasuk pergerakan bursa saham global, kebijakan ekonomi dalam negeri, serta laporan ekonomi AS yang dinantikan oleh pasar.

Faktor Pergerakan IHSG

Salah satu faktor yang turut memengaruhi sentimen pasar global adalah hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) AS pada tahun 2024. Kemenangan Donald Trump kembali dalam pemilu kali ini telah memberikan optimisme pada pelaku pasar AS, yang tercermin dalam penguatan sejumlah indeks utama di Wall Street. Selain itu, keputusan Federal Reserve (The Fed) untuk menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin juga menjadi faktor yang mendukung kenaikan tersebut.

Seiring dengan kemenangan Trump dan kebijakan pelonggaran moneter, pasar AS mengalami reli. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,69 persen ke level 44.293,13, S&P 500 naik tipis 0,1 persen ke posisi 6.001,35, dan Nasdaq Composite bergerak naik sebesar 0,06 persen ke 19.298,76. Reli ini turut memberikan dampak positif pada bursa saham global, termasuk di Asia dan Indonesia.

Fokus pasar pekan ini akan tertuju pada data inflasi AS yang akan dirilis pada Kamis, 14 November 2024. Data inflasi tersebut sangat penting karena akan memberikan gambaran lebih lanjut mengenai arah kebijakan suku bunga The Fed ke depannya. Jika inflasi AS menunjukkan peningkatan yang signifikan, ada kemungkinan The Fed akan kembali mempertimbangkan penyesuaian suku bunga untuk menjaga stabilitas ekonomi AS.

Peningkatan inflasi di AS dapat menimbulkan sentimen negatif bagi pasar saham global, termasuk di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran akan pengetatan moneter yang dapat memengaruhi likuiditas pasar. Oleh karena itu, para investor akan cenderung lebih berhati-hati menunggu perkembangan data ekonomi tersebut sebelum melakukan aksi jual atau beli.

Selain dari AS, pasar Asia juga sedang mencermati data ekonomi dari China. Bank Sentral China (People’s Bank of China atau PBoC) melaporkan bahwa jumlah kredit baru pada Oktober 2024 hanya sebesar 500 miliar yuan, mengalami penurunan tajam dari bulan sebelumnya yang mencapai 1.590 miliar yuan. Penurunan ini terjadi meskipun berbagai stimulus telah digelontorkan untuk memacu perekonomian.

Perlambatan penyaluran kredit di China mengindikasikan bahwa sektor manufaktur di negara tersebut masih mengalami tekanan, sejalan dengan lesunya permintaan domestik dan global. Penurunan ini juga memengaruhi pasar saham Asia secara keseluruhan, meskipun beberapa indeks utama tetap menunjukkan pergerakan yang positif pada pagi ini, seperti Nikkei yang naik 259,39 poin atau 0,66 persen ke level 39.792,69.

Dari dalam negeri, kekhawatiran mengenai melemahnya daya beli masyarakat semakin meningkat. Data dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Oktober 2024 turun ke level 121,1 dari bulan sebelumnya yang berada di level 123,5. Meskipun angka ini masih berada di zona optimis, level tersebut merupakan yang terendah sejak Desember 2022.

Penurunan daya beli masyarakat bisa menjadi tantangan tersendiri bagi ekonomi Indonesia ke depannya. Konsumsi rumah tangga, yang merupakan salah satu pendorong utama perekonomian, mungkin mengalami perlambatan jika daya beli terus menurun. Situasi ini perlu diantisipasi oleh pemerintah dan Bank Indonesia dengan berbagai kebijakan yang dapat memperkuat stabilitas ekonomi domestik.

**

Exit mobile version