PenaKu.ID — Ki Hajar, panggilan akrab Hadjarudin Sufiana (75) seorang guru honorer yang mengabdi di SD Negeri Babakan Sirna selama puluhan tahun bersiap mendidik anak muridnya.
Suasana perkampungan yang hening dan sepi, Lolongan anjing kampung dari arah hulu memecah keheningan pagi di pelosok perkampungan Desa Cilangari, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat.
Sinar surya kekuningan perlahan bangun dari peraduan, cahayanya bersembunyi mengintip malu-malu dari balik dedaunan.
Burung-burung pun mulai berkicau menyambut hari baru, tepat di hari peringatan HUT ke-15 KBB.
Saat itulah, Ki Hajar, panggilan akrab Hadjarudin Sufiana (75) seorang guru honorer yang mengabdi di SD Negeri Babakan Sirna selama puluhan tahun bersiap mendidik anak muridnya.
Jaket hitam dengan logo Tutwuri Handayani di dada sebelah kiri dikenakannya. Sesekali, Ki Hajar menatar ke cermin, merapikan penampilannya dari ujung kaki ke ujung kepala.
Sudut runcing kopiah hitam dirapikan simetris dengan garis hidung, senyum mengembang di wajahnya pertanda sudah siap melangkah menuju sekolah.
Butuh waktu kurang lebih setengah jam untuk Ki Hajar sampai di sekolah tempatnya mengejar.
Tidak menggunakan kendaraan, melainkan jalan kaki. “Setiap hari ya begini, jalan kaki dan kurang lebih butuh waktu setengah jam untuk sampai ke sekolah,” ucap Hajar tersenyum.
Meski usia tak lagi muda, semangat mendidik bibit bangsa tak pernah menua. Ki Hajar dengan langkah gontai menapaki jalan terjal bebatuan di tapal batas Bandung Barat. Jalanan rusak dan licin bekas longsor jadi pemandangan biasa baginya.
Meski Bandung Barat sudah menginjak usia remaja, jalanan di pedesaannya tak kunjung dibenahi. “Kadang pakai motor kalau ada yang nganterin. Kalau nggak ada ya sudah nikmati saja jalan kaki,” imbuhnya.
Mengabdi sejak era emas Orde Baru Tahun 1970 menjadi tonggak awal Hajar memulai pengabdiannya menjadi seorang pendidik di wilayah pelosok terpencil selatan Jawa Barat.
Setelah lulus dari sekolah pendidikan guru (SPG) atau yang kini setara dengan SMA, Hajar langsung terjun mengabdikan diri sebagai guru honorer di wilayah Cianjur.
Hadjar Safudin Seorang Guru Honorer yang Mengabdi 52 tahun di SD Negeri Babakan Sirna, Bandung Barat.
“Mulai mengajar itu tahun 1970, pindah-pindah di wilayah Cianjur-Bandung. Barulah di tahun 1986, mengajar di SD Negeri Babakan Sirna sampainsekarang,” paparnya.
Setidaknya Hajar sudah mengabdi menjadi seorang guru lebih dari setengah abad.
Namun statusnya tak pernah berubah, dia hanya seorang guru honorer biasa yang ikhlas mengabdi pada sekolah.
“Tahun 1988 pernah ikut tes. Tapi karena gak punya ‘orang dalam’ mau gimana. Teman yang seangkatan saya ada yang bisa lulus tes lewat orang dalam, ada yang jadi kepala sekolah ada juga pengawas. Ya sudah lah terima saja. Toh saya ikhlas mengajar,” kata Hajar.
Pengabdian setengah abad diganjar upah murah Dari rezim ke rezim silih berganti, Orde Baru tumbang berganti era reformasi, Megawati diganti SBY, SBY diganti Jokowi, namun nasib Hajar tetap sama.
Ki Hajar juga ingat betul 19 Juni 2007 menjadi sejarah Kabupaten Bandung Barat berdiri sendiri menjadi daerah otonom baru yang memisahkan diri dari Kabupaten Bandung. Hingga kini, usia Bandung Barat sudah menginjak remaha yakni 15 tahun.
Namun, tak banyak perubahan berarti yang dirasakan Hajar. “Memang iya sudah gonta-ganti Bupati. Tapi sama saja. Tidak ada yang berubah. Jalan di perbatasan Cianjur-Bandung ini juga masih rusak,” ujar Hajar.
Selama 15 tahun ini pun, nasib hajar tak banyak berubah. Upah layak yang dinantikan oleh ribuan guru honorer juga tak kunjung terwujud. Hadjar Safudin (75) seorang guru honorer yang mengabdi 52 tahun di SD Negeri Babakan Sirna, Bandung Barat.
“Dari dulu awal ngajar sampai sekarang status saya masih honorer. Sekarang upah cuma Rp 350 ribu per bulan. Alhamdulilah ada kenaikan,” sebutnya. Jawaban Hajar sontak mengagetkan telinga siapapun yang mendengarnya.
Siapa yang tak geram, pengabdian 52 tahun hanya dihargai seharga tiket liburan ke Dufan Ancol. “Pernah dapat gaji Rp 400 ribu, tapi karena ada guru honorer lain yang masuk, akhirnya dibagi dua jadi Rp 200 ribu.
Tapi kemudian ada tambahan gaji sehingga sekarang Rp 350 ribu per bulan,” ungkapnya. Program pemberian Surat Keputusan (SK) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK/P3K) kepada guru-guru honorer pun tak pernah sampai kepadanya.
“Kalau dikasih tahu pasti saya mau ikut. Saya kan gak tahu harus bagaimana. Memang cuma dengar-dengar doang ada program itu,” tuturnya.
Ki Hajar sadar betul usianya yang sudah senja ini sudah seharusnya beristirahat.
Kulit keriput di wajah dan punggung tangannya sudah menggambarkan betapa letihnya menjadi pendidik selama setengah abad lebih. “Kalau saya berhenti, siapa nanti yang mau ngajar anak-anak,” kata Hajar.
Hajar tak pernah mengeluh sedikitpun, ia mengayunkan kaki menuju sekolah setiap pagi demi mendidik putra-putri di pelosok Bandung Barat agar bisa bernasib lebih untung darinya. Rasa cinta dan ikhlas pengabdiannya menjadi wujud kado yang berkepanjangan dihari jadi Bandung Barat yang kini menginjak usia remaja.
“Saya yakin orang baik selalu ada. Selamat ulang tahun Bandung Barat.
Semoga Pemda Bandung Barat bisa memperhatikan nasib para guru honorer yang ikhlas mengabdi,” ucapnya haru.***(Kompas.com)
**Red