PenaKu.ID – Tukang tahu bulat dengan jargonnya yang sudah pasti semua orang tau yaitu “Tahu Bulat Digoreng Dadakan, Lima Ratusan Haneut-haneut, Gurih-gurih Nyoi”.
Di tengah polemik harga dan ketersediaan minyak goreng yang belum stabil, akankah tukang tahu bulat hijrah dengan konsep dan jargon “Tahu Bulat Dikukus Dadakan, Lima Ratusan, Empuk-empuk Nyoi”
Terlebih kata kukus dan rebus melejit usai Megawati berkomentar terkait antrian emak-emak di Pekanbaru – Riau pada beberapa waktu silam yang ingin mendapatkan minyak goreng.
Bercerita minyak goreng, tentunya tak bisa dipisahkan dari salah satu UMKM ini. Iya betul, tukang tahu bulat yang merupakan salah satu penopang usahanya yaitu minyak goreng. Sudah bisa dipastikan tukang tahu bulat takkan dapat beroperasi bila mereka tak mendapatkan minyak goreng.
Di samping itu, ketersediaan stok dan melambungnya harga minyak goreng menjadi salah satu kekhawatiran ekosistem usaha tahu bulat tergerus. Apalagi diketahui, harga untuk satu buah tahu bulat pun tak seberapa dan hanya dipatok dengan harga lima ratus rupiah.
Tentunya hal itu menjadi pertanda bahwa usahanya sedang tidak baik-baik saja. Kendati memang saat ini minyak goreng curah di pasaran sudah disubsidi pemerintah dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp13.000,- hingga Rp14.000, – namun harga subdisi tersebut pun dinilai lebih mahal dari harga asal yaitu sekitar Rp11.500, -.
Namun kualitas dan higienis harus tetap dijaga, tukang tahu bulat umumnya menggunakan minyak goreng kemasan untuk tetap menjaga kualitas hasil menggoreng tahu bulat.
“Kami ngga bisa memakai minyak curah mas karena untuk usaha kami ini, minyak curah lebih boros menyerap minyak saat menggoreng. Beda kalau make minyak goreng kemasan, daya serap ga begitu tinggi. Trus juga kita jaga agar kualitas agar tetap higienis,” ujar Abud (50), salah satu pedagang tahu bulat keliling di Kota Bandung kepada PenaKu.ID saat dijumpai di daerah Ciumbuleuit, Selasa sore (22/03/22).
Bisa dibayangkan dengan harga 500 rupiah per satu buah tahu bulat, akankah menutup seluruh biaya operasional para tukang tahu bulat dengan persoalan harga minyak kemasan yang kian melambung.
Jika dulu tukang tahu bulat hanya bisa mengeluarkan uang sekitar 23 ribu rupiah sampai 26 ribu rupiah untuk mendapatkan minyak goreng kemasan 2 liter, namun mereka sekarang harus berfikir dua kali secara seksama dengan harga kemasan yang sudah hampir mencapai lima puluh ribu rupiah.
“Sekarang mah bawa uang 100 ribu rupiah ke rumah teh bingung dengan kondisi begini. Belum lagi saya harus bayar kernet.”
“Ga mungkin kami ganti cara jualan kami dengan cara mengukus atuh, suka aneh ya itu yang lagi viral di medsos. Katanya ibu-ibu disarankan untuk memasak dengan cara mengukus dan merebus, jangan terpaku dengan minyak goreng dan menggoreng. Aduh padahal berikan kami solusi yang ril dalam menghadapi kondisi sekarang bukan pernyataan yang membuat kontroversi,” imbuhnya.
Kendati demikian, Abud tetap bersyukur usahanya masih bisa berjalan seiring dengan harga minyak goreng yang belum stabil seperti sediakala. Adanya pembelajaran tatap muka (PTM) yang sudah diberlakukan lagi untuk siswa-siwsi sekolah menjadi momok berharga bagi usahanya.
“Waktu virus corona rame kami harus berkeliling dengan jarak yang lumayan jauh, tetapi sekarang anak-anak sekolah sudah mulai masuk jadi alhamdulilah bisa mangkal di sekitaran sekolah. Bisa menghemat operasional juga untuk ngisi bensin,” katanya.
Abud merasakan dampak dari kenaikan dan kelangkaan minyak goreng akhir-akhir ini terhadap usahanya bahkan untuk kawan-kawannya yang lain yang menjadi tukang tahu bulat keliling.
“Sekarang tukang tahu bulat yang biasa berkeliling paling tinggal 6 mobil. Awalnya itu ada sekitar 15 mobil,” terangnya.
Tekanan Kedua Tukang Tahu Bulat
Sudah jatuh tertiban tangga pula, itulah idiom yang bisa disematkan kepada para pedagang tahu bulat manakala persoalan kelangkaan dan kenaikan harga kedelai pun berubah. Tentunya kenaikan harga kedelai pun turut berimbas pada usahanya karena memang jantung kedua bisnisnya ini adalah tahu.
Bahan baku tahu ialah kedelai. Seperti diketahui harga kedeleai pun mengalami perubahan lantaran dapat diperkirakan permintaan ekspor meningkat ke negara China. Di sisi lain, kebutuhan di dalam negeri pun terbilang masih sangat besar. Harga kedelai per kilogram saat ini berkisar antara 12 ribu rupiah hingga 13 ribu rupiah yang sebelum kenaikan harga kedelai berada di kisaran Rp10.000,-.
“Ya jadinya ukuran tahu bulat mengecil dan kulaitas agak sedikit menurun. Memang untuk harga tahu bulat sendiri dari pabrik ga naik,” ujar Abud.
Ia berharap kepada pemerintah agar segera dapat mengatasi persoalan minyak goreng supaya bisa kembali normal. Terlebih, saat ini masyarakat pun dihadapkan dengan bulan Ramadan dan Idul Fitri yang tak lama lagi akan di jalankan umat muslim.
“Kalau begini terus saya ampun harus usaha apalagi. Mohon kepada pemerintah berikan kami jalan keluar. Kembalikan keadaan seperti semula,” pinta dia.
Sebelumya PenaKu.ID selama dua hari telah melakukan survey dan monitoring di lapangan kepada tukang tahu bulat yang biasa berkeliling, khususnya di Kota Bandung. Hasilnya memang hanya segelintir tukang tahu bulat yang masih beroperasi dan itu pun sulit ditemui. Hingga hari terakhir, akhirnya PenaKu.ID menemukan tukang tahu bulat di sekitaran Ciumbuleuit Kota Bandung Jawa Barat.
***