Tutup
PenaRagam

Peraturan Mahkah Agung No. 5 Tahun 2020 Dinilai Menghambat Fungsi Pers

×

Peraturan Mahkah Agung No. 5 Tahun 2020 Dinilai Menghambat Fungsi Pers

Sebarkan artikel ini
20201223 045535
Ketua Umum PWI Pusat, Atal Sembiring Depari.”Prinsip

PenaKu.ID – Aturan baru yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) dalam beleid PERMA No. 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan dinilai setidaknya akan menghambat kerja jurnalistik. Itu dikarenakan dalam peraturan tertanggal 4 Desember 2020 tersebut, secara khusus pada Pasal 4 ayat (6) disebutkan mengatur terkait kewajiban adanya izin hakim/ketua majelis hakim untuk dapat ‘Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual’ dalam proses persidangan.

Dan hal itu harus dilakukan sebelum dimulainya persidangan berlangsung.

Kemudian pada Pasal 7 Perma No. 5 Tahun 2020, juga mengkualasifikasikan pelanggaran pada Pasal 4 ayat (6) itu sebagai contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menilai kebijakan yang ditetapkan MA tersebut akan menghambat fungsi dan peran Pers dalam mencari dan menyiarkan informasi kepada publik.

Hal senada juga ditegaskan Ketua Umum PWI Pusat, Atal Sembiring Depari.”Prinsip ditolak karena menghambat kebebasan pers”, ujarnya berkomentar di grup Warga PWI.
Bung Wina Armada menyarankan agar PWI bersilaturrahmi dengan Ketua MA untuk membahas persoalan tersebut.

Bahkan Doktor Dhimam Abror Djuraid meminta isu ini bisa dijadikan salah satu tema Peringatan Hari Pers Nasional 2021 yang diselenggarakan di Jakarta, Februari mendatang.

Kehadiran jurnalis dalam proses persidangan merupakan bagian dari keterbukaan informasi publik dan jaminan atas akses terhadap keadilan.

Selain itu, Pasal 4 ayat (3) UU Pers telah memberi jaminan terhadap kemerdekaan pers, dengan memberi hak kepada pers nasional dalam hal untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Sehingga semestinya MA tidak menghalangi kerja jurnalistik melalui Perma.

MA tidak semestinya menganggap kehadiran jurnalis yang mengambil foto, rekaman audio dan atau rekaman audio visual sebagai gangguan terhadap peradilan. Peran dan fungsi jurnalis kami nilai dapat meminimalisir praktik mafia peradilan yang dapat mengganggu independensi hakim dalam memutus.

Keberadaan jurnalis di ruang persidangan penting untuk menjamin proses peradilan berjalan sesuai peraturan yang berlaku dan terpenuhinya akses untuk keadilan.

Sebab dengan terbatasnya akses di ruang persidangan, diyakini akan membuat mafia peradilan makin bebas bergerak tanpa pengawasan jurnalis.

Larangan mengambil foto, rekaman audio dan atau rekaman audio visual hanya boleh pada kasus kesusilaan atau anak. Sementara pada pada prinsipnya persidangan terbuka untuk umum sebagaimana diatur Pasal 153 ayat (3) KUHAP dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman, sehingga pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual merupakan bagian dari prinsip keterbukaan informasi publik tidak relevan harus didahului izin hakim atau ketua majelis hakim. Sebagai konsekuensi jika proses persidangan tidak dibuka untuk umum maka putusan pengadilan bisa batal demi hukum.

Keinginan MA untuk mengatur tata tertib dalam persidangan, khususnya terkait pendokumentasian ini bukan yang pertama. Sebab pada 7 Februari 2020 lalu, MA melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan, yang isinya tak jauh berbeda, salah satunya mengatur ketentuan ‘Pengambilan Foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan’. Meski pada akhirnya surat edaran ini dicabut dengan banyaknya penolakan dari berbagai kalangan.

Berdasarkan uraian di atas, LBH Pers mendesak Mahkamah Agung untuk mencabut Perma No. 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkup Pengadilan karena dapat menghambat hak pers dalam mencari, mengelola dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.



(Redaksi)
Source: sumbar.siberindo.co