PenaKu.ID – Hubungan AS-Tiongkok kembali memanas, kali ini dipicu tuduhan serius. Kementerian Keamanan Negara (MSS) Tiongkok, badan intelijen utama Beijing, secara terbuka menuduh pemerintah AS melakukan “perampokan digital skala masif” dengan menjarah aset kripto Bitcoin senilai fantastis US$ 13 miliar (sekitar Rp217,1 triliun).
MSS menjuluki AS sebagai “kekaisaran peretas” (hacker empire) dan menuduhnya menggunakan taktik zero-day vulnerabilities untuk menyusup ke sistem target.
AS Dijuluki “Perampok Tak Tahu Malu” Dalam Perang Siber
Dalam pernyataan publik yang langka, MSS menuduh Washington menyamarkan “perilaku perampokan yang tidak tahu malu” ini di bawah kedok penegakan hukum. Tudingan ini langsung dikaitkan oleh analis dengan penyitaan aset kripto terbesar dalam sejarah oleh Departemen Kehakiman AS (DOJ) pada November 2022.
Saat itu, DOJ menyita sekitar 50.676 BTC dari James Zhong, yang mencurinya dari pasar gelap Silk Road. Beijing kini mengklaim bahwa aset sitaan tersebut, atau sebagian besarnya, adalah milik entitas di Tiongkok. Mereka melihat penyitaan DOJ bukan sebagai penegakan hukum, melainkan sebagai aksi pencurian siber yang didukung negara.
Bitcoin Sebagai Arena Konflik Geopolitik Baru Siber
Insiden ini menandai eskalasi serius dalam perang dingin teknologi dan siber antara kedua negara adidaya. Jika sebelumnya fokus perseteruan adalah hardware dan software, kini arena pertempuran meluas ke aset digital.
Bitcoin, yang dirancang untuk terdesentralisasi, ironisnya telah menjadi objek vital yang diperebutkan sebagai cadangan strategis antarnegara. Publik kini menunggu respons resmi dari Washington terkait tuduhan pencurian siber tingkat tinggi ini.**
