PenaPendidikan

P2G Sesalkan Debat Capres Tak Sentuh Solusi Pendidikan

P2G Sesalkan Isi Debat Capres Tak Sentuh Solusi Pendidikan
Ilustrasi (pexel)

PenaKu.ID – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memperhatikan dengan seksama jalannya Debat Calon Presiden (Capres) khusus mengenai pendidikan, Minggu, 4 Februari 2024.

Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim menyatakan bahwa sejauh ini gagasan pendidikan ketiga Capres masih bersifat gimmick dan normatif saja.

“Menyimak debat Capres isu pendidikan, P2G menilai belum menyentuh persoalan fundamental pendidikan nasional,” katanya dalam keterangan resmi yang diterima PenaKu.ID, Selasa (6/2/24).

Satriwan menyayangkan bahwa ketiga Capres belum memperhatikan data-data riil aktual dan belum menawarkan solusi konkret yang menunjukkan ragam masalah kualitas pendidikan Indonesia.

Pertama, nilai literasi dan matematika yang masih rendah.

Hasil Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) tahun 2022, terungkap fakta bahwa 1 dari 2 anak Indonesia belum mampu mencapai kompetensi minimum literasi dan 3 dari 4 anak Indonesia belum mencapai kompetensi minimum numerasi.

Yang lebih menyedihkan, skor hasil PISA Indonesia 2022 yang terus merosot tajam. Skor Numerasi Matematika Indonesia (366) sama dengan Palestina yang kondisinya jauh lebih tidak stabil karena sekolah mereka porak poranda akibat perang. Skor Numerasi tersebut bahkan menjadi yang terendah sejak 2006.

Skor Literasi Membaca Indonesia pada 2022 juga menjadi yang terendah di antara skor PISA tahun-tahun sebelumnya, yakni sebesar 359. Pada 2009 Indonesia pernah mencatatkan skor PISA literasi membaca sebesar 402.

“Belum ada tawaran perbaikan konkret dan signifikan mengenai problematika mendasar rendahnya literasi dan matematika anak Indonesia,” kata Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim.

Kedua, menurut Koordinator Nasional P2G, para Capres juga tidak menyinggung bagaimana peringkat Indeks Kompetitif Global Indonesia. Indeks ini sangat berkorelasi dengan pendidikan, sebab bagaimana kebijakan pendidikan nasional akan menentukan seberapa kompetitif peserta didik sebagai sumber daya manusia Indonesia ketika bersaing secara global nanti. Data Global Competitive Index (GCI) 2023, Indonesia belum bisa melampaui posisi Malaysia (27), Thailand (30) dan Singapura (4).

“Dalam GCI, Indonesia memang melompat 10 peringkat, namun sayangnya belum bisa menyalip tetangga sesama Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand dan Singapural,” terang Koordinator Nasional P2G.

Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim mengatakan, dalam bersaing secara global, Indonesia juga perlu mempertimbangkan modal yang dimiliki Indonesia. Merujuk Human Capital Index (HCI) 2020, Indonesia menempati posisi 96 dari 174 negara.

Artinya berdasarkan capaian pendidikan dan status kesehatannya, diperkirakan anak Indonesia yang lahir tahun 2020, 18 tahun kemudian hanya dapat mencapai 54% dari potensi produktivitas maksimum.

Kedua indeks ini tidak disentuh dan tidak diberi solusi konkret oleh ketiga Capres dalam debat.

Ketiga, menurut Satriwan, kunci kesuksesan kebijakan pendidikan dalam menghasilkan tenaga kerja terampil, ada di SMK.

Namun, P2G prihatin bahwa sampai hari ini lulusan SMK masih menyumbangkan pengangguran tertinggi di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik sampai Februari 2023 terdapat 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Pengangguran tertinggi masih lulusan SMK sebesar 9.60%, sedangkan lulusan SMA 7,69%.

P2G menyebutkan, tahun 2021, lulusan SMK tertinggi menyumbang 11,45% dari total 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Tahun 2023 turun menjadi 9,60%. Artinya P2G memandang selama dua tahun terakhir upaya pemerintah menggenjot pendidikan vokasi hanya berhasil mengurangi 1,85% pengangguran SMK.

Lagi-lagi para Capres tidak menyentuh persoalan fundamental pendidikan tersebut.

Keempat, P2G juga sangat menyayangkan dalam Debat Capres tidak memberi solusi mengenai fakta bahwa saat ini angkatan kerja lulusan SD masih mendominasi.

BPS menunjukan sampai tahun 2023 secara bertingkat angkatan kerja lulusan SD 39,76%, lulusan SMA 19,18%, lulusan SMP 18,24%, sisanya lulusan Perguruan Tinggi D1-3 2,20% dan D4, S1,S2,S3 sebesar 9,13%. Berarti produktivitas tenaga kerja Indonesia masih dihasilkan lulusan SD.

“Kenapa keterserapan angkatan kerja lulusan SD masih dominan? Mestinya makin tinggi jenjangnya, maka makin besar angkatan kerjanya. Ini seharusnya bisa dijawab dalam Debat Capres, tapi tidak disentuh,” tegas Satriwan.

P2G Sebut Capres Tak Tawarkan Grand Design Pendidikan Nasional

Kelima, Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi P2G melanjutkan, Capres tidak menawarkan Road Map atau Grand Design Pendidikan Nasional yang gagal dibuat pemerintah sekarang. Road Map pendidikan ini harus menjadikan pendidikan sebagai satu sistem yang saling berkaitan, tidak parsial. Roadmap ini harus juga disertai desain nasional tata kelola guru.

“Kami kira tidak perlu kebijakan berjilid-jilid seperti episode Merdeka Belajar era Nadiem Makarim ini. Cukup Road Map Pendidikan Nasional yang menunjukan bahwa kita memiliki peta jalan yang jelas untuk tujuan pendidikan Nasional. Melibatkan semua kalangan,” kata Iman.

Keenam, Iman berharap Road Map yang dibuat bukan hanya mengikuti trend global dan industri pendidikan yang makin teknologi sentris. Pembuatan beragam platform pendidikan dan pembelajaran telah menjadi persoalan bagi guru, dosen, siswa, sekolah dan sistem data pendidikan nasional.

Seperti bertambahnya beban administrasi seperti Platform Merdeka Mengajar (PMM) di era Nadiem Makarim sekarang, penambangan data anak, kesehatan mental anak berkaitan screen time, dan kusutnya pemutakhiran data pendidikan yang menyebabkan masalah baru dalam rekrutmen guru PPPK, server PPG yang sempat down, dan motif-motif bisnis dalam digitalisasi pendidikan.

“PMM telah menjadi momok menakutkan bagi guru. Beban administrasi guru melalui aplikasi makin bertambah di era Nadiem,” ungkap Iman.

Ketujuh. Biaya Pendidikan. Berdasarkan dokumen visi-misi para Capres. Pasangan 01 menjanjikan sekolah gratis, yang belum terurai dengan baik maksud dari program tersebut.

Kemudian janji pasangan nomor urut 02 untuk menjalankan program makan siang dan susu gratis.

Iman mempertanyakan rencana penggunaan anggaran dana pendidikan untuk program tersebut. Sebagaimana diketahui, berdasar UUD Tahun 1945, pasal 31, pemerintah wajib menganggarkan 20 persen APBN dan APBD untuk pendidikan. APBN untuk pendidikan saja sebesar 612 triliyun.

Jika Rp 400 triliunnya justru dipakai untuk program makan siang dan susu gratis, maka jelas berpotensi bertentangan dengan UUD 1945. Sebab akan mengurangi drastis alokasi anggaran untuk bidang pendidikan lainnya.

Sementara untuk janji pasangan capres nomor urut 03, yakni akan memberikan gaji guru sebesar Rp 20-30 juta per bulan, Iman sebut tidak masuk akal. Sebab, jika dijumlahkan dengan total guru sebanyak 3,3 juta orang, anggaran APBN akan terkuras hingga lebih dari Rp 1.000 triliun.

Selain itu, maraknya Pinjaman Daring (Pindar) atau Pinjol bagi mahasiswa akibat liberalisasi Kampus berbentuk PTN BH. Keberadaan PTN-BH masih menjadi penghalang akses pendidikan bagi masyarakat ekonomi lemah. Ini harus dibenahi.

“Tapi lagi-lagi para capres tidak menyinggung persoalan mendasar ini dalam debat,” ungkap Iman kecewa.

Kedelapan, Kesejahteraan dan Kualitas Guru.

Sangat disayangkan dalam debat para Capres tak punya sedikit pun komitmen untuk mengangkat guru PNS.

“Hanya terlontar oleh Capres 01 akan mengangkat guru honorer menjadi P3K. Ini sangat disayangkan, guru P3K itu sifatnya emergency exit, kok malah dijadikan solusi utama. Solusi kekurangan guru adalah ya dengan membuka rekrutmen guru PNS,” ungkap Iman.

Kemudian, persoalan mendasar lainnya adalah dari 3,3 juta guru masih tersisa 1,6 juta guru belum disertifikasi. Artinya sekitar 40% lebih guru Indonesia belum memenuhi syarat profesional dan kompeten sebagaimana perintah UU Guru dan Dosen.

Kenapa ini terjadi? Karena pemerintah gagal memenuhi perintah UU Guru dan Dosen. Mestinya sampai tahun 2015 semua guru Indonesia itu harus disertifikasi. Sertifikat pendidik itu adalah salah satu syarat wajib yang menandakan seorang guru itu kompeten atau profesional.

Kesembilan, Guru yang berhasil direkrut oleh pemerintah melalui skema PPPK baru 794.724 orang sampai 2024 ini. Bahkan masih ada belasan ribu guru sudah lolos passing grade (PG) yang nilainya di atas ambang batas (istilah P-1), sejak 2021, dijanjikan akan diberi formasi sampai 2024, tapi sampai sekarang tidak jelas statusnya.

Sementara itu, kebutuhan guru sampai tahun 2024 sebesar 1.312.759 guru ASN. Harapan kami, para Capres memperhitungkan agar masalah guru PPPK pada era ini tidak terulang kembali.

P2G berharap dibuka kembali seleksi PNS, karena P3K guru hanya alternatif, bukan solusi utama.

Dari segi kesejahteraan, rata-rata guru honorer di Indonesia digaji berkisar antara 500 ribu – 1 juta rupiah. Oleh sebab itu dibutuhkan solusi kongkret atas masalah kesejahteraan guru. Jika hanya bicara kenaika gaji fantastis, itu juga tidak realistis.

Kami mengajukan usul agar diterapkannya Upah Minimum Guru Non ASN, ini jauh lebih realistis dan akan dirasakan langsung oleh para guru yang tidak kunjung sejahtera.

Kesepuluh, isu PPDB Zonasi juga tidak disentuh dalam Debat Capres. Padahal ini menyangkut nasib 50 juta lebih siswa se-Indonesia. Belum adanya komitmen dari para Capres apakah akan melanjutkan Kebijakan PPDB Zonasi? atau akan menghentikannya total? atau akan memperbaiki skema teknisnya? Tak satu pun yang menyinggung problematika Zonasi ini. Sangat disayangkan sekali.

***

Exit mobile version