PenaKu.ID – Legenda tuyul dan babi ngepet sebagai sarana pesugihan untuk mencapai kekayaan instan telah mengakar kuat dalam folklor Indonesia. Namun, sebuah pertanyaan modern sering muncul: mengapa makhluk gaib ini hanya mencuri uang di rumah-rumah penduduk dan tidak pernah membobol brankas bank yang menyimpan uang jauh lebih banyak?
Jawabannya tidak terletak pada kekuatan gaib satpam bank atau sistem keamanan canggih. Penjelasan di balik fenomena ini bersifat sosiologis dan kultural, mencerminkan cara masyarakat tradisional memandang kekayaan dan kecemburuan sosial.
Simbol Kecemburuan Tuyul
Mitos pesugihan seperti tuyul pada dasarnya adalah produk sosial dari masyarakat agraris atau pra-modern. Dalam struktur masyarakat seperti ini, kekayaan seringkali bersifat komunal dan terlihat jelas. Ketika seseorang tiba-tiba menjadi kaya tanpa penjelasan yang logis (misalnya, usahanya tidak terlihat lebih keras dari tetangganya), kecurigaan pun muncul.
Seperti yang diungkap dalam beberapa penelitian sosial, tuduhan memelihara tuyul sering kali merupakan bentuk simbolis dari rasa iri atau kecemburuan sosial. Mitos ini berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial untuk menjelaskan kesenjangan ekonomi yang terjadi secara tiba-tiba di antara tetangga.
Logika Mitos vs Institusi Modern terhadap Tuyul
Bank adalah sebuah institusi modern, abstrak, dan birokratis. Konsep “mencuri dari bank” tidak memiliki kedekatan emosional atau sosial yang sama dengan “mencuri dari tetangga.” Tuyul dan babi ngepet adalah personifikasi dari kejahatan yang bersifat personal dan terlihat. Mereka mencuri uang tunai yang disimpan di bawah bantal atau di lemari, bukan angka digital di server bank.
Legenda ini beroperasi dalam logika “ekonomi moral” desa, di mana kekayaan dipandang sebagai sesuatu yang terbatas (zero-sum game). Keuntungan satu orang dianggap sebagai kerugian orang lain. Oleh karena itu, sasaran makhluk gaib ini selalu individu yang dikenal, bukan lembaga keuangan yang anonim dan impersonal seperti bank.**
