PenaKu.ID – Promosi Doktor Bahlil Lahadalia di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) menimbulkan polemik. Meski begitu, di mata akademisi, promosi tersebut masih sesuai jalur.
Seorang akademisi yang menjadi co-promotor saat promosi doktor Bahlil, Dr. Teguh Dartanto, S.E., M.E., mengatakan bila para pengkritik seharusnya memiliki daya kritis terhadap sebuah fenomena, selalu melakukan cek dan ricek terhadap sebuah fakta, serta menggali informasi dari sumber aslinya.
Menurut Teguh, masuknya Bahlil ke SKSG UI dengan mengambil jalur riset sesungguhnya sudah sesuai aturan. Terlebih dua pertanyaan penelitian yang memotivasi BL untuk program doktoral di SKSG UI yakni pertama apakah kebijakan hilirisasi nikel yang dikerjakan saat ini secara akademik benar/tepat (evidence-based policy)?, dan kedua jika kurang tepat apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kebijakan hilirisasi membawa manfaat yang lebih besar?
Pada bidang ini, Bahlil Lahadalia menurut Teguh memiliki kewenangan membuat dan merubah kebijakan hilirisasi, sehingga jawaban atas dua pertanyaan ini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kebijakan hilirisasi di masa depan.
“Selain itu, Bahlil juga memiliki privilege akses informasi, data, dan sumber daya untuk melakukan penelitian ini jauh sebelum mendaftar kuliah. Dalam konteks saat ini seperti akreditasi AACSB (akreditasi internasional terkemuka sekolah bisnis yang dimiliki FEB UI), memiliki mahasiswa dan disertasi seperti ini akan sangat bermanfaat untuk societal impacts,” kata Teguh melalui keterangan tertulis yang diterima PenaKu.ID, Jumat (25/10/24).
Selama proses penelitian, lanjut Teguh, komposisi tim promotor yakni Prof. Chandra Wijaya (FIA), Teguh Dartanto (FEB), dan Athor Subroto (SKSG/FEB) sering melakukan diskusi dan perdebatan terkait arah penelitian, metodologi dan cakupan penelitian.
Selain itu, selama proses riset Teguh pun meminta Bahlil Lahadalia untuk turun lapangan melihat dan berinteraksi langsung dengan masyarakat di Morowali dan Weda Bay (Halmahera Tengah), serta melakukan diskusi dengan para pemangku kepentingan. Saat itu, Teguh juga turun ke lapangan untuk memastikan Bahlil Lahadalia menjalankan prosedur dan panduan wawancara.
Untuk melihat perspektif global terkait kebijakan industrialisasi/hilirisasi, TD juga meminta BL untuk melakukan wawancara dengan para ahli kebijakan industrialisasi dan hilirisasi di Korea (Ha-Joon Chang-SOAS University of London), Tiongkok (Justin Lin-Peking University) dan Amerika Serikat (Dani Rodrik, Harvard University). Teguh mengikuti proses wawancara online memastikan semua pertanyaan dalam panduan wawancara dijalankan.
“Wawancara ahli internasional menambahkan theoretical framework mengenai developmental state dalam proses industrialisasi dimana tanpa ada intervensi pemerintah maka hilirisasi/industrialisasi sulit terjadi sehingga ada broken ladder,” ujar dia.
Terlebih, sambungnya, Bahlil Lahadalia juga memenuhi syarat administratif berdasarkan Peraturan Rektor No. 26/2022 pasal 20 di mana ‘Masa Studi Program Doktor dijadwalkan untuk 6 (enam) Semester dan dapat ditempuh paling sedikit dalam 4 (empat) Semester atau paling lama 10 (sepuluh) Semester’. Bahlil Lahadalia menurutnya telah menempuh 4 semester: Genap 2022/2023, Ganjil 2023/2024, Genap 2023/2024, dan Ganjil 2024/2025.
“Terkait isu kualitas bisa diperdebatkan tetapi penguji luar Prof. Didik Rachbini (Universitas Paramadina), Prof. Arif Satria (IPB University), Prof. Kozuke Mizuno (Kyoto University) dan penguji internal UI bukanlah orang-orang yang bisa dibeli untuk meluluskan disertasi Bahlil,” tegasnya.
“Mengenai kewajaran masa studi, kasus yang sama, FEB UI tahun 2004 pernah meluluskan Doktor Sugeng Purwanto dengan masa studi 13 bulan 26 hari (Rekor MURI Doktor tercepat),” imbuhnya.
Apalagi kualitas pendidikan di SKSG UI tetap terjaga ketat karena setiap penelitian harus memiliki tingkat kemiripan yang sangat kecil, yakni di bawah 10 persen.
Calon lulusan diharuskan mempublikasi penelitiannya tersebut. Bagi S2 penelitian harus dipublikasi di jurnal yang terakreditasi minimal Science and Technology Index (Sinta) 5. Sementara untuk S3 diharuskan untuk menerbitkan penelitiannya di jurnal dengan minimal akreditasi Sinta 2 atau Scopus minimal Q3.
Bahlil Lahadalia Dinilai Aktif
Di sisi lain, Dosen Antropologi Fisipol Universitas Hasanuddin (Unhas) yang juga lulusan Universitas Indonesia, Dr. Tasrifin Tahara, M.Si juga menilai Bahlil Lahadalia berhak menyandang gelar Doktor dengan predikat cum laude. Karena dalam konteks ini Bahlil Lahadalia tergolong mahasiswa yang mengikuti rangkaian proses akademik yang baik dan disiplin.
Terlebih proses pendidikan jalur riset, menurutnya program SKSG UI memiliki prosedur perkuliahan yang ketat dalam meluluskan mahasiswa dengan tidak melihat siapa latar belakang calon mahasiswa yang bersangkutan.
“Saya yakin mahasiswa dalam hal ini Bahlil telah melewati semua tahapan perkuliahan dengan baik mulai dari proses review literatur, penyusunan proposal disertasi tahapan seminar proposal dan konsultasi yang intensif dengan promotor dan co-promotor, seminar proposal disertasi, tahapan penelitian lapangan, analisa data, penulisan disertasi, seminar hasil hingga ujian terbuka (promosi),” ucap Tasrifin Tahara.
“Apa ada yang salah dalam proses yang dilalui? Saya kira setiap program studi memiliki quality control dan mekanisme dalam penyelenggaraan studi,” imbuhnya.
Tasrifin mengungkapkan, Bahlil termasuk mahasiswa yang aktif dan sangat dekat dengan tema disertasi yang dia tulis, termasuk kedekatan dengan informan dan akses terhadap data penelitian hingga penyusunan laporan penelitian untuk menghasilkan disertasi.
Selama ini, sambungnya, lama atau cepatnya studi mahasiswa terbentur dengan kendala-kendala saat penelitian dan penyusunan disertasi.
“Jika mahasiswanya disiplin dan rajin maka prosesnya akan cepat menyelesaikan studi. Dan Bahlil termasuk dalam kategori mahasiswa yang disiplin. Jadi menurut saya sangat wajar jika Bahlil bisa menyelesaikan studi dalam waktu yang cepat atau empat semester,” pungkasnya.
***