PenaKu.ID – Pengadilan Negeri (PN) Kelas IB Sukabumi mengejar sidang lanjutan kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang menyeret seorang arsitek, Doddy Anwar Setiawan, Kamis (3/07/2025).
Dari pantauan PenaKu.ID di lokasi, sidang yang sudah memasuki tahap ketujuh ini, menghadirkan dua saksi ahli untuk menguatkan unsur pidana dalam kasus yang menimpa pengusaha restoran ternama di Kota Sukabumi, Evi H (50).
Kepada awak media Evi H mengaku, mengalami kerugian sekitar Rp810 juta dari proyek pembangunan rumah yang dipercayakan kepada Doddy. Kontrak awal pembangunan disepakati senilai Rp1,8 miliar, namun setelah dilakukan pemeriksaan oleh ahli, progres pekerjaan baru mencapai 55 persen.
“Iya, saya merasa puas dengan keterangan para saksi ahli hari ini. Mereka menguatkan bahwa kasus ini bukan wanprestasi, melainkan sudah masuk unsur penipuan dan penggelapan. Kerugian saya mencapai Rp810 juta dari kontrak yang sudah saya bayar lunas,” cetus Evi suusai mengadiri sidang di PN Kelas IB Sukabumi Jalan Bhayangkara Kecamatan Gunungpuyuh, Kota Sukabumi.
Evi menyesalkan sikap terdakwa dalam persidangan yang dinilainya belum menunjukkan rasa bersalah.
“Sejak awal sidang, saya melihat terdakwa tidak merasa bersalah. Padahal, semua saksi dan bukti sudah sangat jelas. Saya harap, hukum bisa ditegakan seadilnya,” bebernya.
Dari informasi yang diterima, sidang selanjutnya akan digelar minggu depan dengan agenda pemeriksaan terdakwa Doddy Anwar Setiawan. Evi berharap, proses hukum ini berjalan transparan dan memberi keadilan bagi dirinya sebagai korban.
“Saya sudah serahkan semuanya ke hukum. Tapi saya juga ingin masyarakat tahu bahwa berhati-hatilah dalam memilih mitra kerja, karena yang saya alami ini benar-benar merugikan secara finansial dan psikologis,” tandasnya.
Sementara itu, seorang ahli di bidang Teknik Bangunan Gedung dan Manajemen Konstruksi, Sukarno Artama menjelaskan, metode analisis yang digunakan dalam mengevaluasi hasil pekerjaan terdakwa.
“Saya memulai dengan mengumpulkan data primer dan sekunder, lalu memverifikasinya langsung di lapangan. Salah satu contoh yang mudah terlihat adalah ukuran galian tanah. Dalam kontrak tertulis 5×10 meter, tapi di lapangan hanya 5×8 meter. Itu jelas tidak sesuai,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia menerangkan, setelah semua perhitungan dilakukan secara profesional dan teliti, progres pembangunan hanya mencapai 55 persen, namun seluruh dana kontrak sebesar Rp1,8 miliar telah dibayarkan.
“Dari hasil penghitungan, progres sebesar 55 persen itu nilainya maksimal sekitar Rp1 miliar. Jadi, ada selisih sekitar Rp800 juta yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” singkatnya.
Di tempat sama, Ahli hukum pidana sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Isman Samosir, juga hadir sebagai saksi dan memberikan penjelasan hukum terkait kasus ini.
“Jaksa sudah mengemukakan kronologisnya, bahwa korban (Evi) dan terdakwa sepakat membangun rumah dengan nilai kontrak tertentu yang sudah dilunasi. Tapi kenyataannya pembangunan tidak selesai. Itu sudah masuk unsur kebohongan dan memenuhi syarat tindak pidana penipuan,” ucapnya.
Ia juga membeberkan, bahwa kasus ini tidak bisa digiring ke ranah perdata seperti wanprestasi, karena niat jahat (mens rea) sudah muncul sejak awal.
“Kalau wanprestasi, kebohongan itu muncul di belakang. Tapi dalam penipuan, kebohongan itu digunakan di awal sebagai alat untuk menipu orang agar menyerahkan sesuatu. Dalam hal ini, uang Rp1,8 miliar sudah diserahkan, padahal bangunan belum selesai. Itu bukan sekadar pelanggaran kontrak, itu tindak pidana,” cetusnya.
Isman juga menyoroti bahwa sisa dana sebesar Rp800 juta yang tidak masuk dalam pembangunan merupakan bagian dari penggelapan, karena dana tersebut tidak digunakan sesuai peruntukannya.
“Ini bukan soal kesalahan proyek biasa. Ini bukan hanya soal molor. Ini soal niat jahat dan pelanggaran hukum,” pungkasnya.
***