Uncategorized

Untaian Kisah Pak Bekti Bikin Haru Insan Pers, Met Istirahat Senior

1e229383 5b4a 4c53 a1fd 9ebcb6a11af7
tokoh pers encup soebakti

PenaKu.ID – Ketika saya masih “calon anggota” PWI, jenjang terendah keanggotaan PWI, sesuai dengan ketentuan PD PRT PWI kala itu, saya menempuh ujian kenaikan tingkat ke jenjang  berikutnya sebagai “anggota muda” di PWI Provensi  DKI Jakarta. Salah satu penguji dan pemeriksa ujian saya ialah Pak Encup Soebekti,  yang baru saja almarhum.

Demikian pula waktu mau menaikan lagi status saya menjadi “anggota biasa” dari anggota muda, Pak Bekti yang sedang menjabat sebagai skretaris PWI Jaya, ketuanya Massun Pranoto, jadi penguji saya. Dia pulalah yang antara lain menandatangani sertifikat saya.   

Walapun dia punya pengalaman sebagai wartawan harian Kami, dan kemudian di Pos Kota Group, sejak awal tak sedikit pun dia menunjukan sikap arogansi sebagai senior. Pak Bekti, begitu saya memanggilnya, (sebagian lagi menyebutnya “Pak Encub,”) selalu membimbing dan memberi jalan terhadap problematik yang ada. Pengetahuan teori tentang jurnalistiknya sangat luas. Maka ketika mengajar feutures, misalnya, beliau selalu memakai pengetahuan teorinya itu sebagai alat menerangkan agar lebih luas, mendalam dan mudah difahami.

Persahabatan saya dengan Pak Bekti sebagai yunior dan sejawat, terus berkembang, termasuk lantas ketika kami sama-sama menjadi pengurus PWI tingkat Jaya dan PWI Pusat. Perhatiannya kepada bidang pendidikan, membuat dia lebih sering ditempatkan di bidang yang terkait pendidikan.

Hampir pada semua bagian pendidikan PWI Pak Bekti banyak terlibat. Almarhum tercatat sebagai salah satu orang yang banyak menyusun kurikulum atau silabus bahan pelatihan di lingkungan PWI. Memang sebagian dari  hidup dan profesinya diabadikan untuk pendidikan dan pelatihan kewartawanan.

Suatu saat pelatihan “Safari Jurnalistik” PWI yang sudah lama berlangsung, bakal “dimatikan” oleh  ketua umum PWI priode saat saya menjadi sekjennya. Saya dan Pak Bekti “menentang” keputusan itu dan beradu argumentasi dengan ketua umum, bahwa  Safari Jurnalistin perlu terus dipertahankan, baik karena alasan kemasalahatan maupun alasan historis.

Setelah  berdebat cukup tajam dan demokrasi, akhirnya  program Safari Jurnalistik  tetap dipertahankan, dengan syarat kami yang harus mengurus tetek bengkeknya, termasuk terkait dengan  urusan mencari sponsor. Demi mempertahankan program Safari Jurnalistik tersebut kami langsung menyanggupi syarat itu.

Kami lantas menghubungi Brata, mantan wartawan Kantor Berita Antara beralih yang menjadi Kepala Humas perusahaan Nestle.  Brata menyanggupi Nestle tetap jadi sponsor program Safari Jurnalistik dengan ketentuan kurikulumnya harus disesuaikan dengan perkembangan zaman dan disetujui lebih dahulu oleh Nestla. Nah, supaya gak bulak-balik, akhirnya kami ajak Brata sebagai salah satu tim perumus kurikulum Safari Jurnalistik yang baru.

Dan kepalang bersama, waktu Brata menawarkan villa munggil miliknya di daerah Puncak sebagai tempat pembahasan, langsung kami terima. Jadilah kami menginap semalam dua hari di villa Brata.

Pembahasan soal kurikulum Safari Jurnalistik ternyata tidak berlangsung lama, karena sudah ada persamaan persepsi di antara kami. Selebihnya kami bicara intens berbagai soal. Walaupun yang paling senior, Pak Bekti sama sekali tidak menempatkan diri orang yang paling tahu, karena selalu mau mendengar kami. Sampai kini hasil rumusan kurikulum yang kami buat bersama Brata dengan sponsor Nestle masih dipakai PWI, setidaknya sekitar 90 persenan dari kurikulum itu. Banyak pengurus dan anggota PWI tak memahami hal ini, sehingga melupakan faktor sejarahnya.

Baca Juga:

Rencana Kerjasama dengan Pos Kota

Pernah pihak BNI suatu saat menawarkan kepada saya, apakah kami berniat “bekerja sama” Pos Kota Group karena perusahaan mantan menteri penerangan Harmoko ini saat itu sudah  ada terkait dengan BNI. BNI minta kalau kami berhasil menggalang “kerja sama” dengan Pos Kota Group, nanti kami berkewajiban melakukan skema restrukturisasi cicilan ke BNI. Saya  jawab, jika memang propektif kami menyatakan setuju.

Sejatinya saat itu kami  tak ingin mengembangkan Pos Kota Group melalui mekanisme koran cetak. Kami faham benar kala itu, industri pers cetak sudah mencapai senja atau sun set industri, sehingga mengembangkan idustri pers cetak bagaikan menggali kubur sendiri.  Pers cetak, sejak saat itu sudah tinggal menunggu waktu penurunan tajam yang terus menerus. Jadi, kami sama sekali tidak berpikir kesana.

Sebaliknya waktu  itu usaha star up baru saja bertumbuh, dan belum banyak perusahaan yang menekuni bisnis ini. Dan untuk usaha star up, perusahaan mana lagi yang memikiki akses dan data paling kuat, selain Pos Kota Group.

Koran ini punya data jual beli  lengkap di semua bidang. Ada jual beli atau sewa rumah di Jakarta paling komplit. Penawaran pekerjaan dan orang yang membutuhkan alias pencari kerja paling banyak pula di Pos Kota Group. Begitu juga jual beli mobil, burung, barang antik dan sebagainya, apa aja ada disana. Bahkan daftar panti pijt pun begitu lengkap. Semua  ada di iklan Pos Kota, kala itu.

Dengan mengakuisisi Pos Kota Group dan melengkapi dengan usaha star up, Pos Kota Group bakal menjadi salah satu usaha di bidang  star up yang paling besar. Dan kalau itu terjadi, saya yakin, perusahaan ini menjadi salah satu perusahaan dengan value yang teramat sangat besar serta masuk katagori triyulnan. Maka tanpa ragu, saya mengatakan kepada pihak BNI, yang meminta dan mempersilahkan saya secara alami berhubungan dengan Pos Kota Group, saya aminin alias saya setujui.

Hanya  saja, saya tak punya banyak akses terhadap para pemegang saham Pos Kota Group. Disinilah saya kembali meminta tolong Pak Bekti lagi untuk “menghubungi dan mengkondisikan” para pemegang saham inti Pos Kota Group. Dari situlah saya akhirnya bertemu  dengan dua tokoh Pos Kota Group, Harmoko dan Tahar, serta beberapa  pemegang saham Pos Kota Group lainnya.

Rupanya Pak Bekti lumayan dikenal dan dipercaya di lingkungan  group perusahaan pers yang sangat terkenal itu.

Pihak Pos Kota Group meminta “kerjasama” itu termasuk penanganan percetakan milik mereka di Cikarang. Lagi-lagi saya setuju saja. Lalu lahirklah MoU antara saya dengan Pihak Pos Kota Group yang diwakili Pak Harmoko dan Pak Tahar.

Kedua tokoh Pos Kota inilah yang membubuhkan tanda tangannya di atas kertas MoU. Pak Bektilah yang berperan banyak membantu saya menyakinkan kepada Harmoko dan Tahar serta pemegang saham Pos Kota lainnya.

Untuk urusan percetakan di Cikarang, kami ingin audit yang tuntas dan objektif. Maka kami menyewa konsultan dari Kanada, dengan standar bayaran dolar. Kami ingin pemeriksaan berlangasung profesional. Datanglah bule ahli Kanada itu ke Indonedia  dan memeriksa percetakan di Cikarang.

Ketika pertama kali konsultan dari Kanada bekerja, Pak Bekti dan saya ikut meninjau ke percetakan di Cikarang. Betapa kagetnya kami, konsultan itu memulai kerjanya bukan dari memeriksa mesin, tetapi justeru dari hilirnya: ke mana pembuanga limbah percetakan? Setelah itu barulah ke bagian hulunya, memeriksa besi-besi mesin dan mesinnya sendiri. Kesimpilan mereka : kami tak direkomendasi mengambil alih percetakan ini sebagai mesin percetakan.

Mulai dari sana negosisasi dengan Pos Kota Group tersendat, dan akhirnya tak jadi dilaksanakan tanpa pembatalan. Hasil ini saat itu telah saya sampaikan juga kepada pihak BNI. Setelah itu saya tak tahu lagi bagaimana kelanjutannya penanganan  Pos Kota  Group di BNI, sampai saya mendengar kabar Pak Tahar wafat dan ada lapor melapor ke polisi antara anggota dan pengurus koperasi karyawan Pos Kota sebagai salah satu pemegang saham Pos  Kota Group.

Kisah tangga “langka”

Persahabatan saya dengan Pak Bekti juga tentu menembus batas-batas pribadi. Dia sering bercerita tentang asal daerahnya di Cirebon. Saya ceritakan kepadanya, ketika saya pertama ke Cirebon naik kereta, waktu kereta berhenti dan saya mau turun memakai tangga. Di tempat turun, saya diberitahu  petugas di stasion Cirebon, tangga kereta api itu “langka.” Saya pikir kata “langka” artinya sama dengan bahasa Indoensia, yaitu “jarang,” rupanya maknanya berbeda. Kata “langka” di Cirebon artinya “tidak ada.” Pak Bekti seperti biasa, mendengar cerita saya dengan tersenyum-senyum.

Begitu juga sebagai sahabat almarhum sering bercerita tentang  anak-anak dan cucu-cucunya, termasuk salah satu anaknya yang masuk tentara, angkatan darat, mulai waktu pendidikan sampai pernah ditempatkan di Paspampres sampai dikirim ke luar negeri sebagai bagian pasukan perdamaian dan seterusnya.

Saya mengalami sendiri, Pak Bekti seorang pribadi yang jujur. Tak pernah sedikit pun dia melenceng dari komitmenya, apalagi sampai “cheating” atau curang. Tak secuil pun hal itu ada di pikirannya, apalagi dalam tindak tanduknya. Dia orang yang tidak saja bersih, tapi sangat bersih. Jujur sampai ke sumsumnya . Dia tak tergiur dengan kemegahan  duniawi. Pak Bekti orang yang sangat idealis.

Pada sisi lain Pak Bekti seorang yang sangat solider kepada persahabatan. Mau mendengar dengan sabar. Mau menolong. Mau membantu. Tapi almarhum juga seorang yang tegas. Dialah profil sejati wartawan yang mengabdi kepada profesinya. Seorang yang menempatkan profesi wartawan sebagai pekerjaan utama, bukan sekedar pekerjaan sampingan, sampai akhir hayatnya.

Saya mendengar pertama kali kepergian Pak Bekti dari WA staf sekretaris PWI Pusat , Taty Mansur, di What Apps Group  (WAG) “Warga PWI” pukul 07.28. Saya kehilangan sorang sahabat yang tulus yang punya artinya banyak buat saya. Saya bersaksi almarhum orang baik…orang baik….orang baik!  Selamat jalan seniorku, sahabatku….Menghadaplah  kembali kepada Sang Pencipta dengan jiwa yang tenang….. Tintamu akan selalu berbekas di benak insan pers tanah air…

**Red

Exit mobile version