Religi

Sesajen untuk Lelembut: Antara Tradisi dan Hukum Agama, Ini Penjelasannya!

Sesajen untuk Lelembut: Antara Tradisi dan Hukum Agama, Ini Penjelasannya!
Sesajen untuk Lelembut: Antara Tradisi dan Hukum Agama, Ini Penjelasannya!/(pixabay)

PenaKu.ID – Menyediakan sesajen atau sajen merupakan sebuah praktik yang telah mengakar kuat dalam beberapa tradisi dan budaya di Indonesia. Praktik ini sering kali dihubungkan dengan upaya berkomunikasi atau memberikan persembahan kepada makhluk tak kasat mata, yang biasa disebut lelembut atau roh penjaga.

Tujuannya beragam, mulai dari meminta perlindungan, kelancaran rezeki, hingga menolak bala. Sesajen biasanya berisi bunga, makanan, dupa, dan benda-benda lain yang dianggap memiliki nilai simbolis bagi entitas yang dituju.

Dalam perspektif budaya, sesajen adalah wujud penghormatan terhadap alam dan leluhur. Ini adalah cara masyarakat tradisional menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia gaib.

Namun, seiring dengan perkembangan pemahaman agama, praktik ini mulai dipertanyakan relevansi dan kedudukannya dalam keyakinan, terutama dalam ajaran Islam yang menjadi agama mayoritas di Indonesia. Timbul pertanyaan besar, apakah menyediakan sesajen untuk lelembut diperbolehkan?

Pandangan Islam tentang Persembahan dengan Sesajen

Dalam ajaran Islam, prinsip utama adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan dimintai pertolongan. Segala bentuk persembahan, doa, dan ibadah yang ditujukan kepada selain Allah, termasuk kepada jin, roh, atau lelembut, dikategorikan sebagai perbuatan syirik.

Syirik merupakan dosa terbesar yang tidak akan diampuni jika seseorang meninggal dalam keadaan belum bertaubat. Oleh karena itu, memberikan sesajen dengan keyakinan bahwa lelembut dapat memberikan manfaat atau menolak mudarat adalah tindakan yang dilarang keras.

Membedakan Adat Sesajen dan Ibadah

Penting untuk memisahkan mana yang murni merupakan adat istiadat dan mana yang sudah masuk ke ranah akidah atau ibadah. Jika sesajen hanya dianggap sebagai simbol pelestarian budaya tanpa ada keyakinan sedikit pun terhadap kekuatan gaib di baliknya, beberapa ulama mungkin memiliki pandangan yang lebih lunak.

Namun, risiko tergelincir ke dalam perbuatan syirik sangat besar. Mayoritas ulama sepakat bahwa meninggalkan praktik semacam ini adalah pilihan yang lebih aman untuk menjaga kemurnian akidah seorang Muslim. Menghormati tradisi tidak harus dengan cara yang bertentangan dengan prinsip dasar agama.**

Exit mobile version