Sosial

Mengurai Jerat Asmara: Batasan Pacaran dalam Kacamata Islam

Mengurai Jerat Asmara: Batasan Pacaran dalam Kacamata Islam
Mengurai Jerat Asmara: Batasan Pacaran dalam Kacamata Islam/(pixabay)

PenaKu.ID – Hubungan asmara pra-nikah, atau yang populer disebut pacaran, seringkali menjadi perdebatan sengit dalam masyarakat Muslim. Dalam perspektif ajaran Islam, hubungan intim antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram diatur secara ketat untuk menjaga kehormatan diri dan kemurnian jiwa.

Secara umum, konsep pacaran seperti yang dipahami secara modern — berkencan, berduaan, dan membangun kedekatan emosional tanpa ikatan pernikahan — dinilai bertentangan dengan prinsip syariat. Islam mendorong umatnya untuk menempuh jalan yang halal, yakni pernikahan, sebagai satu-satunya wadah yang sah untuk mengekspresikan cinta dan membangun keluarga.

Setiap langkah yang mendekati zina (aktivitas yang merangsang hubungan terlarang), seperti berpegangan tangan, berciuman, atau berdua-duaan di tempat sepi (khalwat), sangat dilarang karena dianggap membuka pintu menuju kemaksiatan. Oleh karena itu, hukum asal pacaran yang tidak mengikuti koridor syariat cenderung dihukumi haram oleh mayoritas ulama.

Menjaga Kehormatan Diri dan Keluarga Tanpa Pacaran

Lalu, bagaimana Islam memandang interaksi antara muda-mudi yang berniat menuju pernikahan? Islam tidak melarang seseorang untuk mencari pasangan hidup. Namun, prosesnya harus melalui cara yang bermartabat, yakni melalui ta’aruf (perkenalan) dan khitbah (lamaran).

Proses ta’aruf dilakukan dengan melibatkan pihak ketiga atau wali, menghindari pertemuan berduaan, serta fokus pada aspek-aspek kesiapan mental, agama, dan visi pernikahan. Hal ini bertujuan untuk melindungi kedua belah pihak dari fitnah dan dosa.

Melalui ta’aruf yang syar’i, niat baik untuk menikah dapat tersalurkan tanpa harus melanggar aturan agama, sekaligus memastikan proses tersebut berada di bawah pengawasan yang menjaga martabat keluarga.

Risiko dan Dampak Negatif Pacaran Bebas

Praktik pacaran yang tidak Islami seringkali membawa dampak negatif, baik secara psikologis maupun sosial. Keterikatan emosional yang terlalu dalam sebelum menikah dapat memicu sakit hati dan kekecewaan yang mendalam jika hubungan berakhir.

Lebih jauh, pacaran cenderung merusak batasan moral, meningkatkan risiko perzinahan, dan mencoreng nama baik keluarga. Islam mengajarkan bahwa cinta sejati seharusnya disempurnakan melalui akad nikah, yang menjadikan hubungan itu berkah, legal, dan bernilai ibadah. Dengan menahan diri dari pacaran bebas, seorang Muslim sedang menjalankan ketaatan, menjaga diri, dan menunggu waktu yang tepat untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.**

Exit mobile version