PenaKu.ID – Dialog antaragama semakin gencar diselenggarakan beberapa waktu belakangan ini. Seperti halnya dilakukan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang bertemu secara daring dengan tokoh lintas agama dalam Dialog Tokoh Lintas Agama se-Jabar, di Kota Bandung, Selasa (6/4/2021) malam. (Humas.jabarprov.go.id)
Pemda merasa perlu untuk melaksanakan dialog antar agama ini, sebagai penyelarasan dengan upaya yang dilakukan Pemda untuk menjadikan Jabar sebagai rumah bagi semua umat beragama.
Menelusuri lebih dalam berkaitan dengan dialog antaragama , kita dapat melihat kental sekali dengan aroma pluralisme. Pandangan pluralisme menyatakan pluralitas (beragamnya) manusia, pendapat, atau agama adalah suatu fakta yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sehingga, agar tidak menimbulkan konflik dan masalah di dalam kehidupan bermasyarakat, tidak boleh ada manipulasi nilai-nilai kebenaran oleh suatu kelompok, agama, atau individu mana pun.
Sehingga dari sini lahir pula pandangan bahwa kebenaran itu relatif sesuai dengan cara pandang masing-masing. Dengan kata lain semua pandangan agama bernilai sama. Tidak boleh satu agama dianggap lebih unggul dari yang lainnya. Karena, yang demikian itu dianggap bakal menimbulkan konflik.
Tentu ini adalah alasan yang keliru karena selama ini umat Islamlah justru yang paling toleran kepada umat agama lain. Di Indonesia saja yang mayoritas penduduknya adalah muslim, tidak serta merta menindas umat agama lain yang minoritas. Bahkan umat Islam selalu menjadi garda terdepan dalam hal persatuan bangsa.
Justru, dialog antaragama ini seperti bentuk pengebirian terhadap agama Islam dan menutupi kebenaran. Upaya untuk mencari titik temu berbagai agama merupakan ide pluralisme yang bertentangan dengan Islam. Karena dalam pandangan Islam, agama yang diridhai Allah hanyalah agama Islam sebagaimana firmanNya dalam Surat Almaidah ayat 5:
BacaJuga:
” Sesungguhnya agama yang diridai Allah hanyalah Islam”
Dalil-dalil Al-Quran secara terang membedakan orang beriman dengan ahli kitab maupun musyrik, diantaranya dalam Surat Al-bayyinah ayat 1:
“Orang-orang Kafir, baik dari kalangan Ahli Kitab [Yahudi dan Nasrani] maupun Musyrik, tidak akan meninggalkan agamanya, sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.”
Adapun dalil yang dianggap sebagai landasan dialog antaragama diantaranya adalah:
“Katakanlah [Muhammad]: Wahai Ahli Kitab, mari kita [berpegang] kepada satu kalimat yang sama, yang tidak ada perselisihan di antara kami dengan kalian.” ( Q.S. Ali Imran: 64)
‘Kalimat yang sama’ dalam ayat di atas dianggap sebagai landasan pemahaman bahwa semua agama sama. Padahal kalimat sesudahnya yang berbunyi:
“Hendaknya kita tidak menyembah, kecuali kepada Allah. Kita tidak menyekutukan-Nya dengan apapun. Kita juga tidak menjadikan sesama kita sebagai tuhan selain Allah.”
Ini merupakan inti ” millah” Ibrahim yang disampaikan kepada Nabi dan RasulNya, bukan ajakan untuk dialog antar agama.
Dengan demikian, konsekuensi keimanan seorang muslim adalah membenarkan satu-satunya agama yang diridai Allah hanyalah Islam, dan pemeluk selainnya disebut kafir atau musyrik.
Meski demikian, bukan berarti kaum muslimin diperbolehkan berlaku zalim kepada selainnya. Fenomena pluralitas penduduk dan tetap berdirinya berbagai tempat ibadah di Indonesia menjadi bukti bahwa ajaran Islam memang mengajarkan toleransi kepada non-muslim.
Hal ini akan tetap terjadi, manakala prinsip bagimu agamamu bagiku agamaku dilaksanakan.
Prinsip toleransi Islam, tidak menghendaki seorang pemeluk agama ikut-ikutan dalam menjalankan ibadah agama lain, atau bersama-sama dalam
menjalankan ibadah agama lain, atau bersama-sama dalam menjalankan ibadah, atau mencari-cari kesamaan antaragama.
Namun sebatas membiarkan/tidak menghalangi umat lain menjalankan ibadah agamanya.
Pluralitas(kemajemukan) merupakan keniscayaan sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan dalam QS. Alhujurat ayat 13:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Adapun pluralisme merupakan ide yang bertentangan dengan keimanan seorang muslim.
Dalam sejarah peradaban Islam, kita tidak akan menemukan konflik-konflik seperti halnya yang terjadi di Barat ataupun di negeri kita saat ini karena yang mendominasi pemahaman masyarakat adalah sekulerisme. Sebaliknya, sejarah mencatat bahwa dibawah naungan Islam kerukunan antar umat beragama saat itu sangat terjaga.
Kala itu kaum muslimin memang terbiasa melakukan dialog dengan non-muslim dalam rangka dakwah Islam. Dakwah adalah mengajak ke jalan Islam. Dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan dialog, sebagaimana firman Allah Taala:
“Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan baik. ” (Q.S. Annahl :125)
Di sisi lain, Islam memang tidak membolehkan memaksa orang lain masuk ke dalam agamanya sebagaimana firman Allah Ta’ala :
” Tidak ada paksaan untuk masuk ke dalam agama Islam” (QS. Albaqarah 256) i
Dengan cara dakwah seperti inilah manusia masuk ke dalam Islam secara berbondong-bondong, tanpa paksaan/kekerasan. Menelisik peristiwa sejarah, Mush’ab Bin Umair mulai melakukan aktifitas dakwahnya di Yatsrib (Madinah) dengan dialog yang sangat luar biasa. Dengan dialog ini, masuk Islamlah para pemuka kaum pada saat itu, dan Madinah bisa menjadi seperti sekarang ini.
Suatu hal yang logis, ketika seorang sudah masuk Islam/menjadikan Islam sebagai agamanya, maka ia wajib terikat dengan Islam baik secara keimanan maupun syariat. Bagian dari prinsip keimanan, seorang muslim dilarang beribadah seperti tata cara ibadah agama lain, demikian pula tidak akan menyuruh non-muslim untuk beribadah sebagaimana muslim. Inilah prinsip yang tegas dalam Islam.
Secara praktis, penjagaan agama baik keimanan maupun keterikatan terhadap syariah dilakukan oleh negara terhadap ummat. Terbaca dalam sejarah, bagaimana Nabi SAW sebagai kepala negara membiarkan tiga suku Yahudi yaitu Khaibar, Qainuqa, dan Nadhir tetap dibiarkan tinggal di Madinah. Namun, Beliau SAW bersikap tegas dengan peperangan dan pengusiran, ketika ketiga suku itu malah berbuat ulah kepada Islam dan kaum muslimin.
Beliaupun memperlihatkan sikap marah saat melihat Umar Bin Khattab memegang lembaran kitab Taurat. Bahkan, terhadap orang murtad (keluar dari Islam) Nabi SAW bersabda:
” Bunuhlah orang yang mengganti agamanya. “
Pada masa khalifah Abu Bakr RA, dilakukan penyerangan kepada orang-orang yang murtad. Saat melakukan musyawarah, beliau RA meminta pendapat kepada sahabat Rasul yang lain, dan mereka menyarankan untuk tidak melakukan penyerangan. Namun beliau kukuh dengan sikapnya. Lantas Umar mengatakan pada kesempatan lain:
“Kekukuhan Abu Bakar itu membuatku yakin ia berpendapat demikian karena Allah Azza Wa Jalla telah meneguhkan hatinya untuk melakukan penyerangan. Kemudian akau pun sadar itulah yang benar.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, seorang muslim harus berpegang teguh kepada imannya. Dengan keimanan ini mendorongnya melakukan kebajikan kepada sesama manusia.
Menghiasi dirinya dengan sifat shiddiq (jujur), amanah, fathanah (cerdik) , dan tabligh (menyampaikan) kebenaran Islam di tengah-tengah manusia, sebagaimana dicontohkan Nabi SAW, dan negara seharusnya menjaga akidah ummat, tanpa perlu melakukan dialog antaragama.
Wallahu a’lam