PenaKu.ID – The Legal Education Indonesia menyelenggarakan Webinar terkait polemik Perda Nomor 2 Tahun 2010, Pasal 10 tentang Larangan Pembukaan Warung Makan di Siang Hari pada Bulan Ramadhan, pada Jumat (30/4/21) yang dihadiri oleh lebih dari 80 peserta.
Ada 4 pemateri yang mengisi webinar LE yaitu Pertama, Anthon Gunawan, S.Sos., M.Si (Asisten Pemerintahan dan Kesejateraan Sosial Sekretariatan Daerah Kota Serang) sebagai Perwakilan Pemkot Serang, kedua, KH. Matin Syarqowi selaku Ketua PCNU Kota Serang, ketiga Saipulloh, S.Pdi Sekretaris Komisi I DPRD Kota Serang, dan keempat Lia Riesta Dewi, S.H., M.H Akademisi Fakultas Hukum UNTIRTA dan Pembina LE.
Dalam kesempatan pertama Anthon Gunawan mengungkapkan tentang polemik Perda Nomor 2 Tahun 2010 tidak harus ada yang dipermasalahkan.
“Soalnya dalam Perda ini disahkan pada tahun 2010, setelah memperoleh penyusunan Perda baik kahian secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Perda ini sudah dibahasa pemerintah dan DPRD kota serang. Dan tentunya ini melibatkan seluruh jejaring masyarakat dan akhirnya perda tersebut disahkan,” kata Anthon.
Akibat dari perda ini, ujar Anthon, rating Kota Serang naik karena menginformasikannya setengah-setengah dan mengabungkan informasi yg ada tidak sesuai dengan faktanya.
Baca juga:
“Apakah Kota Serang sudah menerapkan sanksi kurungan penjara 3 bulan atau denda Rp 50 juta, tetapi kami lebih mengedepankan secara humanis. Pak walikota.sudah menghimbau kepada satpol PP untuk lebih humanis dalam penegakannya,” ungkapnya.
Dalam ruang lingkup Perda ini mencakup Prostitusi, Gelandangan, anak jalanan dan pokok bahasan kajian pada webinar adalah kegiatan yang dilarang pada bulan Ramadhan (Pasal 10).
Dalam pembahasan kedua KH. Matin Syarqowi menjelaskan larangan berjualan yang tertuang dalam aturan tersebut dapat membatasi akses sosial masyarakat dalam berkerja atau berusaha, apalagi keberadaan rumah makan di siang hari juga dibutuhkan bagi umat yang tidak berkewajiban menjalankan puasa.
“Kebijakan ini tidak sesuai dengan prinsip moderasi dalam mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang,” timpal Matin.
Melihat dari sudut pandang agama, kata Martin, puasa itu adalah sangat-sangat pribadi dan perintah puasa juga khusus kitabnya itu bukan yaa ayyuhal muslimul tapi yaa ayyuhaladzina ‘aamanu.
Martin menilai perda ini bukan melarang dagang tapi menunda jam dagang. Di kota serang itu dalam moderasi agama itu sudah berlangsung dari jaman kesultanaan.
“Dalam Perda tersebut saya kritisi terkait salah satu poin tentang Ramadan. Mengapa berbicara Ramadan tetapi tidak membahas hari-hari besar agama lain. Ini yang baru dinamakan moderasi beragama. Meskipun kita mayoritas muslim tetapi dalam peraturan tersebut harus seimbang dalam pengaturannya,” ujar Martin.
Sementara, Sekretatari Komisi I DPRD Kota Serang Saepulloh menuturkan sepakat dan mendukung kebijakan Pemkot Serang nomor 2 tahun 2010 tentang salah satu poin Ramadan.
“Karena memang kita memahami bahwa serang memiliki kultur khas yang harus didukung bersama-sama,” kata Saepulloh.
Selanjutnya pandangan dari akademisi sekaligus Ketua Bidang HTN dan Ketua Pusat Kajian Konstitusi Perundang-Undangan dan Pemerintahan Fakultas Hukum UNTIRTA Lia Riesta Dewi menjelaskan latar belakang yang ada di Perda tersebut yaitu landasan sosiologis dan yuridis. Dalam yuridis perda ini dijadikan dasar hukum.
“Dasar hukum yang membentuk perda ini sangat bertentangan dengan UU nomor 10 tahun 2004 yaitu dimasukannya Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2005, peraturan perundang-undagan hak asasi manusia maupun keputusan presiden dan ini tidak tepat untuk dimasukan dalam Perda ini,” ucap Lia.
(ASR)