PenaKu.ID – Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alamnya, menyimpan kisah historis yang menghubungkannya langsung dengan kitab suci. Dalam Surah Al-Insan ayat 5, Allah menjanjikan minuman dari cairan yang dicampur “kafūr” bagi orang baik, yang ditafsirkan ulama sebagai kamper atau kapur barus.
Namun, kapur barus yang dimaksud bukanlah produk sintesis modern (Naphthalene), melainkan tanaman alami nan wangi berjenis Dryobalanops aromatica yang menyehatkan tubuh, yang sulit ditemukan di Timur Tengah. Pencarian para pedagang Arab terhadap komoditas berharga ini akhirnya membawa mereka ke wilayah tak dikenal di Timur, kini dikenal sebagai Indonesia.
Pusat Kapur Barus Dunia Kuno
Arkeolog Edward Mc. Kinnon dan sejarawan Claude Guillot sepakat bahwa pusat tanaman kamper kualitas terbaik berada di Pulau Sumatra, spesifiknya di Fansur, yang kini bernama Barus. Bukti perdagangan Barus sudah tercatat sejak abad ke-1 Masehi oleh ahli Romawi, Ptolemy, dan dirinci oleh pedagang Arab seperti Ibn Al-Faqih pada tahun 902.
Pedagang Arab rela menempuh pelayaran jauh dari Teluk Persia, melalui Srilanka, hanya untuk mendapatkan kapur barus Barus yang dinilai bermutu tinggi, mengalahkan kamper dari Malaya dan Kalimantan. Hal ini menjadikan Barus sebagai pelabuhan penting yang menghubungkan dunia Arab dengan Nusantara.
Integrasi Perdagangan Kapur Barus dan Penyebaran Islam
Kedatangan gelombang pedagang Arab ke Barus tidak hanya bermotif komoditas, tetapi juga membawa misi penyebaran agama Islam. Barus (Fansur), bersama Thobri (Lamri), dan Haru, menjadi titik awal Islamisasi di Nusantara. Jejak awal Islam di Barus bahkan diduga kuat sudah ada sejak abad ke-7 Masehi, dibuktikan dengan nisan di kompleks makam kuno Mahligai.
Walaupun teori kedatangan Islam masih menjadi perdebatan, fakta historis menunjukkan bahwa jaringan perdagangan Muslim yang berpusat di Barus berperan vital dalam menghubungkan dunia Arab dengan Indonesia, menegaskan eksistensi Tanah Air yang sudah tersohor sejak zaman dahulu kala.**
