PenaKu.ID – Kebijakan perdagangan agresif khas era Trump kembali mencuat.
Pada Juli 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan rencana memberlakukan tarif impor 30% terhadap produk Uni Eropa dan Meksiko, efektif mulai 1 Agustus 2025.
Langkah ini muncul setelah negosiasi panjang gagal mencapai kesepakatan komprehensif.
Langkah Proteksionis dan Negosiasi soal Gaung Tarif Trump
Selain kedua mitra utama, Trump juga mengirim surat kepada 23 negara lain—termasuk Kanada, Jepang, dan Brasil—mengancam tarif antara 20%–50% untuk komoditas strategis seperti tembaga dan komponen teknologi.
Strategi ini dipandang sebagai taktik tekanan agar AS memperoleh posisi tawar lebih kuat dalam negosiasi bilateral maupun multilateral.
Sebelumnya, tarif sektoral tinggi telah diterapkan: 50% untuk baja dan aluminium, serta 25% untuk sektor otomotif. Kini, beban ekonomi bagi negara pengekspor ke AS semakin berat.
Respons Mitra Dagang setelah Gaung Tarif Trump
Reaksi datang bergelombang. Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba menyatakan negaranya akan diversifikasi mitra dagang dan keamanan demi mengurangi ketergantungan pada AS.
Kanada dan sejumlah negara Eropa juga mulai mencari opsi alternatif, termasuk dalam pengadaan sistem pertahanan.
Di Parlemen Eropa, Ketua Komite Perdagangan Bernd Lange menyebut kebijakan ini sebagai “tamparan keras” bagi proses negosiasi yang selama ini berlangsung dalam kerangka saling menghormati.
Sementara Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum memilih menempuh pendekatan negosiasi, menegaskan kedaulatan nasional tak bisa dikorbankan.
Trump sendiri mengakui upaya Meksiko menekan arus migrasi dan perdagangan narkoba belum memadai.
Secara fiskal, kebijakan tarif ini meningkatkan pendapatan bea masuk AS lebih dari US$100 miliar hingga pertengahan 2025.
Namun, unilateralisme Trump diperkirakan akan memperburuk hubungan diplomatik jangka panjang dan memicu ketidakpastian di pasar global.**
