Tutup
Peristiwa

FWI Sebut Kerusakan Hutan di 3 Hulu Sungai Capai 2.300 Ha Jadi Faktor Banjir di Bogor dan Sekitarnya

×

FWI Sebut Kerusakan Hutan di 3 Hulu Sungai Capai 2.300 Ha Jadi Faktor Banjir di Bogor dan Sekitarnya

Sebarkan artikel ini
FWI Sebut Kerusakan Hutan di 3 Hulu Sungai Capai 2.300 Ha Jadi Faktor Banjir di Bogor dan Sekitarnya 
Ilustrasi (istock)

PenaKu.ID – Forest Watch Indonesia (FWI) menemukan kerusakan hutan di tiga hulu sungai yang mencapai 2.300 hektare menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai konservasi air dan tanah.

Mengutip situs FWI, banjir yang melanda kawasan Puncak Bogor salah satu penyebab adalah intensitas hujan tinggi menyebabkan aliran Sungai Ciliwung meluap dan merendam sejumlah area pemukiman dan jalur utama yang menghubungkan Bogor dengan kawasan Puncak.

Menurut penemuan FWI menunjukkan masifnya kerusakan hutan di tiga hulu yaitu Sungai Ciliwung, Kali Bekasi dan Cisadane.

FWI Jelaskan Beberapa Dampak Alih Fungsi Lahan di Puncak Bogor

Salah satu Pengkampanye Hutan FWI, Tsabit Khairul Auni mengatakan, bahwa hutan memiliki fungsi menyimpan air didalam tanah dan keberadaan hutan dapat menahan air hujan agar tidak langsung dibuang ke aliran sungai.

“Kerusakan hutan akibat alih fungsi di Hulu DAS Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane mendorong meluapnya sungai sehingga menyebabkan banjir yang merendam sejumlah wilayah di kawasan Puncak, kota-kota di Jakarta dan Bekasi,” kata Tsabit Khairul Auni.

Menurutnya, dampak buruk dari hilangnya hutan alam adalah berkurangnya kemampuan tanah dalam menyerap air, sehingga meningkatkan risiko run-off (aliran permukaan) dan mempercepat terjadinya banjir. Konversi lahan yang masif kemudian menjadi lahan terbangun juga semakin memperparah situasi. 

“Lahan terbangun baik dalam bentuk villa, objek wisata beserta fasilitas pendukung seperti rest area, permukiman dan infrastruktur jalan menyebabkan air hujan sulit terinfiltrasi ke dalam tanah dan meningkatkan terjadinya banjir,” ungkap Tsabit.

Alih Fungsi Lahan Jadi Penyebab Rusaknya Hutan di Puncak Bogor

Menurut catatan FWI menyebutkan, bahwa deforestasi atau kerusakan hutan alam di ketiga DAS Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane sudah mencapai 2.300 hektare sepanjang 2017 sampai 2023 atau setara dengan 850 kali luas lahan Gedung Sate di Bandung.

Selain itu, analisis FWI juga menemukan perubahan signifikan terhadap kondisi penutupan hutan dan lahan di kawasan Puncak Bogor tahun 2017 hingga 2024.

“Rusaknya hutan alam terjadi akibat alih fungsi yang terus berlangsung,” katanya.

Dari total kerusakan hutan alam 310 hektare di Kecamatan Megamendung dan Kecamatan Cisarua Bogor, sekitar 208,76 hektare telah beralih menjadi perkebunan, sekitar 26,64 hektare menjadi lahan terbangun, dan 75,33 hektare beralih menjadi lahan terbuka.

Wilayah-wilayah Pinggiran di Jakarta Butuh Ekosistem Hutan

Sementara itu, Juru Kampanye FWI Anggi Putra Prayoga menjelaskan bahwa kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) butuh ekosistem hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat. 

“Sayangnya hutan tidak lagi dilihat sebagai fungsi, melainkan komoditas yang selalu dikalahkan untuk berbagai kepentingan. Sisa hutan di ketiga DAS, yakni Ciliwung (14%), Kali Bekasi (4%), dan Cisadane (21%),” ungkap Anggi Putra Prayoga.

Ia menjelaskan, rata-rata persentase luas hutan alam tersisa terhadap luas das di bawah 30 persen. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) memandatkan setidaknya 30 persen dari luas das merupakan kawasan hutan. 

“Hutan harus dilihat sebagai fungsinya  untuk menunjang sistem penyangga kehidupan bukan sekedar tegakkan pohon saja untuk dieksploitasi,” ujarnya.

Kebijakanlah yang Mendorong Pengrusakan Hutan

Anggi melanjutkan, bahwa dalam UUK, fungsi hutan dibagi ke dalam tiga, yakni lindung, produksi, dan konservasi. 

Kementerian Kehutanan RI telah menunjuk hutan di 3 wilayah DAS (Ciliwung, Kali Bekasi, Cisadane) setidaknya sekitar 23 ribu hektare dari ketiga DAS tersebut sebagai kawasan hutan produksi. 

“Artinya kebijakan yang ada justru mendorong pengrusakan hutan bukan perlindungan hutan,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, hutan produksi lebih mengedepankan hasil hutan kayu dibanding hasil hutan bukan kayu seperti jasa lingkungan. Kebijakan ini turut mendorong kerusakan hutan di tingkat tapak secara terencana.

Menurutnya, perubahan kebijakan tata ruang juga turut memfasilitasi alih fungsi hutan dan lahan di ketiga hulu sungai di Kabupaten Bogor. 

“Setidaknya terjadi penyusutan kawasan lindung dalam rencana pola ruang Kabupaten Bogor. Luasnya diperkirakan mencapai 71.595 hektare dari kawasan lindung ke kawasan budi daya,” ujarnya.

Perda RTRW Memungkinkan Pembangunan lebih Bebas

Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor yang saat ini berlaku memiliki kawasan lindung yang lebih sedikit dibandingkan dengan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2016 tentang RTRW Kabupaten Bogor yang berlaku sebelumnya.

Oleh karena itu, di kawasan Puncak Bogor, kawasan perkebunan teh dan kawasan hutan produksi merupakan kawasan lindung pada Perda RTRW sebelumnya, sehingga pembangunan sangat dibatasi. 

“Sebagai konsekuensi, perkebunan teh di kawasan Puncak Bogor yang berada di atas hak guna usaha (HGU) juga berfungsi sebagai daerah resapan air,” jelasnya.

Maka itu, perubahan peruntukan ruang menjadi kawasan budi daya seperti pada Perda RTRW saat ini memungkinkan pembangunan lebih bebas dan terang-terangan. 

“Konversi kebun teh terjadi secara besar-besaran di kawasan Puncak Bogor untuk memenuhi ambisi pembangunan wisata dengan mengalihfungsikan daerah resapan air seperti yang terjadi pada objek wisata Hibisc Fantascy Puncak,” pungkas Anggi.

Ikuti dan Update Berita dari PenaKu.ID di Google News

**