PenaKu.ID – Investasi tanah sering kali dianggap sebagai salah satu instrumen paling prospektif, terutama jika lokasi dan waktu pembelian tepat.
Kisah seorang warga Batavia (sekarang Jakarta), Jonathan Michiels, membuktikan hal itu. Pada periode 1776–1778, ia membeli dua petak lahan kosong di Cileungsi dan Klapanunggal, Bogor, dari pegawai VOC dengan total harga hanya 55.900 ringgit Belanda.
Tanah-tanah ini awalnya berupa perbukitan berpepohonan, tanpa bangunan maupun petunjuk potensi ekonomi apa pun.
Namun, tak lama kemudian, Michiels menemukan ‘harta karun’ yang mengubah nasib keluarganya selamanya: sarang burung walet.
Latar Belakang Pembelian Tanah Lahan Kosong di Bogor
Jonathan Michiels membeli tanah di Cileungsi seharga 29.500 ringgit dan Klapanunggal seharga 26.400 ringgit, tanpa menjelajahi setiap sudutnya.
Keputusan ini didorong oleh tujuan investasi jangka panjang, memanfaatkan peluang pasca-perang di Jawa Barat.
Pada akhir abad ke-18, tanah kosong di wilayah Bogor masih relatif murah, sehingga Michiels memanfaatkan momentum akumulasi aset.
Ia tidak menduga bahwa lahan berkontur berbukit itu sebenarnya menjadi habitat alami burung walet.
Lahan Kosong di Bogor Tersembunyi Sarang Burung Walet
Sarang burung walet, komoditas bernilai tinggi di era kolonial—biasa disajikan untuk bangsawan sebagai hidangan eksklusif—ternyata tersembunyi di gua-gua kecil di lereng bukit milik Michiels.
Setelah mengetahui potensi tersebut, ia segera mengelola panen sarang walet dan memasarkannya dengan harga fantastis.
Menurut Jean Gelman Taylor dalam The Social World of Batavia (1983), dari keuntungan ini Michiels kembali membeli tanah baru dan menambah kekayaannya dengan cepat.
Pada 1800, ia membuat surat wasiat yang membagi lahan kepada lima anaknya: Andries, Pieter, Augustijn, Elizabeth, dan Geetruida.
Pada generasi kedua, Augustijn Michiels menjadi pewaris tunggal setelah saudara-saudaranya meninggal muda.
F. de Haan dalam De Laatste der Mardijkers (1917) mencatat bahwa Augustijn mengelola warisan dengan membeli lahan di Nambo, Cipanas, Ciputri, dan Cibarusah—mencapai total luas hampir 144.900 hektar (setara Provinsi Utrecht, Belanda).
Selain menyewakan tanah, ia juga menanam modal pada tambang emas dan properti lain.
Hingga wafat pada 27 Januari 1883, kekayaan keluarga Michiels masih terjaga dan diwariskan ke generasi ketiga, memastikan garis keturunan hidup makmur tanpa kesulitan finansial.**