PenaKu.ID – Film horor, podcast misteri, hingga wisata ke tempat angker memiliki daya tarik yang sulit dijelaskan. Meskipun dirancang untuk menakut-nakuti, genre horor justru memiliki basis penggemar yang sangat besar dan setia. Banyak orang rela membayar untuk merasakan sensasi takut, cemas, dan tegang.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan menarik: mengapa manusia secara sengaja mencari sesuatu yang membuatnya tidak nyaman? Jawabannya ternyata terletak pada cara otak dan emosi kita merespons rasa takut.
Secara psikologis, menikmati horor adalah tentang merasakan ancaman dalam lingkungan yang sepenuhnya aman. Ketika menonton film seram, otak kita melepaskan senyawa kimia seperti adrenalin, endorfin, dan dopamin. Campuran ini menciptakan sensasi yang mirip seperti saat menaiki roller coaster, yaitu rasa takut yang diikuti dengan kelegaan dan euforia. Karena kita sadar bahwa ancaman tersebut tidak nyata, kita bisa menikmati gejolak emosi tersebut tanpa benar-benar berada dalam bahaya.
Adrenalin dan Euforia Rasa Takut dengan Horor
Ketika adegan jumpscare muncul, sistem saraf simpatik kita aktif, memicu respons “lawan atau lari” (fight or flight). Jantung berdetak lebih kencang, napas menjadi cepat, dan otot menegang.
Lonjakan adrenalin inilah yang dicari banyak orang. Setelah ancaman di layar selesai, otak melepaskan dopamin yang memberikan perasaan senang dan puas. Pengalaman ini bisa membuat ketagihan, sama seperti aktivitas ekstrem lainnya yang memacu adrenalin.
Katarsis dan Pelarian dari Dunia Nyata
Menonton horor juga bisa menjadi bentuk katarsis atau pelepasan emosi yang terpendam. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menekan rasa cemas dan stres.
Genre horor memberikan wadah untuk meluapkan emosi tersebut secara aman. Kita bisa berteriak, terkejut, dan merasa tegang tanpa konsekuensi sosial. Selain itu, horor berfungsi sebagai pelarian.
Masalah di dunia nyata terasa lebih ringan jika dibandingkan dengan teror dikejar zombie atau hantu penasaran, memberikan perspektif baru saat kembali ke realitas.**