Cianjur, LabakiNews.id – Kemiskinan serupa alinea yang tak bisa terlepas dalam sebuah paragraf. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Rusia, orang miskin masih bisa ditemui hingga ini hari. Itu realitas sosial yang ada di setiap penjuru dunia.
Kriteria orang miskin di berbagai negara pun berbeda-beda. Di Amerika, misalnya, ada tiga cara mendefinisikan kemiskinan. Pertama, metode Biro Sensus resmi, yang menggunakan seperangkat ambang pendapatan yang bervariasi menurut ukuran dan komposisi keluarga. Kedua, metode berbasis pendapatan eksperimental yang disebut Ukuran Aw kk Tambahan. Ini merupakan faktor dalam program pemerintah yang dirancang untuk membantu orang dengan pendapatan rendah. Dan, ketiga adalah metode Berbasis Konsumsi yang mengukur apa yang sebenarnya dihabiskan rumah tangga.
Indonesia sendiri adalah negara yang masih terbilang berkembang. Meski pada kenyataannya, tidak semua provinsi atau kabupaten tergolong miskin. Ukuran untuk melihat kemiskinan di Indonesia, cukup mudah, yaitu melalui metode Berbasis Konsumsi untuk bisa mengukur variabel-variabel tertentu.
Di sini, ada perbedaan memang bila saya analogikan lewat pendekatan ilmu budaya yang berkembang sesuai perubahan zaman. Ada kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural tidak akan pernah hilang karena suatu budaya selalu mengalami perubahan.
Menarik karena di dalam upaya untuk membersihkan noda-noda yang melekat dalam sistem demokrasi di ini negeri, Pemerintah sudah tegas dan lugas di dalam upaya pemberantasan korupsi. Keseriusan itulah yang akan mendukung upaya nyata pemerintah provinsi atau kabupateni di dalam merealisasikan jalan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat. Pangkalnya, mencegah korupsi dan meningkatkan taraf hidup rakyat.
Tak dinyana, kemiskinan tidak terlepas dari persoalan ekonomi masyarakat. Warga yang berpendidikan rendah kerap kali jadi korban di dalam lingkaran perdagangan manusia. Penyebab utama, tidak lain adalah lapangan kerja di daerah yang minim. Orang-orang pun berbondong-bondong daftar dan bekerja di daerah lain. Tentu, iming-imingnya upah yang besar.
Baca juga:
Para calon buruh pun kerap tidak pikir panjang. Mereka pun ingin mengubah nasib sebagai buruh lintas provinsi, bahkan lintas negara sebagai buruh migran. Sayang, kemampuan dan keterampilan itu tidak seimbang. Itu sebabnya, para korban mudah dibohongi oleh para jasa penyedia tenaga kerja.
Menurut saya Pemerintah Jawa Barat khususnya Kabupaten Cianjur harus bisa melakukan pencegahan secara sistematis sampai ke desa-desa sebagai lumbungnya. Jejaring dan sindikat perdagangan manusia bukan hal baru di kabupaten cianjur.
Kasus demi kasus tentang pekerja migran asal cianjur yang bekerja: tidak dibayar gajinya.diperkosa dianiaya . Bahkan meninggal di negeri seberang, sudah lama terjadi. Bahkan, DPC Garda Bmi Cianjut ,(Ido madrotilah) menilai perdagangan manusia di jawa barat umumnya, selain berasal dari Cianjur, juga dari Sukabumi, Subang, Indramayu, Garut,Majalengka dan karawang Hampir semuanya berhubungan dengan kebutuhan ekonomi akibat kemiskinan struktural dan kultural.
Saya kira upaya nyata untuk mencegah pengiriman buruh di kemudian hari bisa dilakukan lewat. Pertama, pemerintah harus menyediakan lapangan kerja di daerah. Kedua, proses mencegah itu perlu dibarengi dengan meningkatkan upaya menyelidiki, mengadili, dan menghukum agen perekrutan tenaga kerja, calo, dan pejabat publik korup yang terlibat dalam perdagangan. Ketiga, mengembangkan dan menerapkan prosedur untuk mengidentifikasi para korban potensial di antara kelompok-kelompok. Termasuk, para buruh migran yang kembali, orang-orang dalam prostitusi. Keempat, pemerintah juga dapat memberikan pelatihan anti-perdagangan untuk para polisi, jaksa, hakim, dan pekerja sosial. Peningkatan sumber daya untuk gugus tugas anti-perdagangan manusia dan meningkatkan koordinasi antar instansi menjadi hal penting.
Langkah terakhir adalah perlu penyediaan layanan kesehatan.Ongkos perawatan yang didanai pemerintah provinsi/Kabupaten untuk korban perdagangan manusia; dan membuat protokol antar kabupaten sehingga memperjelas peran untuk mengadili kasus-kasus perdagangan di luar daerah asal korban. Jangan sampai, Kabupaten Cianjur hanya kian berjaya di luar negeri lantaran kuantitasnya buruh migran.
Pemberdayaan masyarakat melalui seni dan budaya bisa jadi pilihan agar Jawa barat khususnya Cianjur kian harum lewat produk budaya unggulan yang ada di tengah gempuran budaya globalisasi.
Kebijakan moratorium memang telah pemerintah lakukan. Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) pun disetop beroperasi di Jawa barat khususnya Cianjur. Ini sebagai mantra agar kelak para calon buruh yang hendak bekerja di luar negeri, mereka dibekali terlebih dahulu, baik keterampilan maupun kemampuan.
Terlepas dari itu semua, perlu infrastruktur untuk menunjang pelatihan para calon buruh. Jangan sampai selama PJTKI dibekukan, muncul persoalan baru. Bisa saja, para calon buruh gelap bermodal nekat mengikuti perekrutan tersembunyi lainnya. Tujuannya satu, melepas diri dari geliat kemiskinan struktural.
Opini: Deky (aktivis migran cianjur)