Ragam

Mantan KPU Jabar Ummi Wahyuni Hadirkan Tiga Ahli dalam Sidang PTUN Jakarta Melawan KPU RI

Mantan KPU Jabar Ummi Wahyuni Hadirkan Tiga Ahli dalam Sidang PTUN Jakarta Melawan KPU RI
Ummi Wahyuni Hadirkan Tiga Ahli di Sidang PTUN Jakarta.

PenaKu.ID – Sidang perkara antara KPU Pusat dan Mantan KPU Provinsi Jawa Barat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, pada Selasa (27/5/2025), Ummi Wahyuni hadirkan tiga orang Ahli.

Ketiga Ahli yang dihadirkan mantan KPU Provinsi Jawa Barat Ummi Wahyuni tersebut, masing-masing diantaranya yaitu Pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, Ketua Bawaslu RI Periode 2017-2022 Abhan dan Jeirry Sumampouw mantan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Periode 2007-2009.

Promo

Pakar Hukum Tata Negara  dari Fakultas Universitas Andalas

Dalam persidangan itu, Feri Amsari menjelaskan tentang konsep kelembagaan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang secara konstitusional tidak pernah disebutkan secara eksplisit di dalam UUD 1945, yang disebutkan adalah penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh sebuah lembaga komisi pemilihan umum huruf kecil.

“Dalam aspek historis dan implementatif empirik memang banyak perdebatan soal DKPP. Jika merujuk pada Disertasi Zainal Arifin Mochtar yang membahas soal lembaga-lembaga negara independen, DKPP bukanlah lembaga  utama seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif,” jelas Feri Amsari.

“DKPP adalah kuasi di antara tiga lembaga itu. Bisa disebut kuasi yudisial, bisa juga kuasi eksekutif. Tetapi bukanlah lembaga peradilan. Sebab di dalam Pasal 24 UUD 1945 jelas sekali ada dua puncak kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung,” tambahnya.

Menurutnya, Mahkamah Agung hanya punya empat lingkungan peradilan, yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer. 

Itu sebabnya, lanjut Feri, karena konsisten dengan empat lingkungan peradilan ini, maka DKPP tidak termasuk dalam cantolan lingkungan empat peradilan dimaksud. Oleh karenanya, DKPP tidak boleh bertindak seperti lembaga peradilan.

“Sifat final dan mengikat pada Putusan DKPP menimbulkan polemik di ruang publik, maka oleh MK lewat Putusan terhadap pengujian norma Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu kemudian sifat final dan mengikat itu dimaknai oleh lembaga eksekutorial seperti Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota maupun Bawaslu,” ungkapnya.

Hal itu bisa disimak dalam Putusan PTUN Jakarta dalam kasus Evi Novida Ginting Manik bahwa final dan mengikat di situ kepada Presiden. Karena perkara yang saat ini diperiksa adalah KPU Provinsi, maka final dan mengikatnya berada pada KPU RI. 

Lebih lanjut Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas ini pun mengatakan dengan tegas bahwa objek sengketa di dalam perkara ini sebenarnya sudah sangat jelas, yaitu Keputusan KPU yang menindaklanjuti Putusan DKPP itu sendiri. 

“Dalam konteks penerapan hukum jika kita bersandar pada Putusan MK maupun Putusan PTUN sebelumnya, maka perdebatan soal peletakan objek sengketa sebenarnya sesuatu perdebatan yang sudah selesai. Dengan kata lain, tak perlu ada perdebatan lagi mengenai mana yang dijadikan sebagai objek sengketa dalam konteks perkara ini,” jelasnya.

Selain itu, DKPP dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya tidak dapat dibenarkan untuk menafsirkan suatu norma dalam konteks implementatif. 

“Oleh sebab itu, jika seandainya ada dugaan kesalahan penerapan prosedur atau pedoman beraca oleh DKPP dalam menerima, memeriksa dan memutus pengaduan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu, maka hal tersebut dapat diperiksa dan diuji oleh Pengadilan Tata Usaha Negara,” ujar Feri Amsari.

Mantan Ketua Bawaslu RI

Sementara itu, Ahli lainnya yang berlatar belakang sebagai mantan Ketua Bawaslu RI, Abhan, dalam pendapat dan keterangannya sebagai Ahli di PTUN Jakarta mengatakan bahwa UU Pemilu telah membatasi peserta pemilu.

“Yaitu partai politik untuk Pemilu anggota DPR, DPR Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, dan perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,” ucap Mantan Ketua Bawaslu RI.

Atas ketentuan itu, menurut Abhan, calon anggota DPR RI bukanlah peserta pemilu sebagaimana dimaksud dalam UU Pemilu. Sehingga, jika pengadu di DKPP menyebut dirinya sebagai peserta pemilu, paling tidak harus dibuktikan dengan adanya pemberian kuasa tertulis yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal partai politik.

“Dan/atau pihak yang menurut AD/ART partai politik tersebut diberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum, termasuk perbuatan untuk mengadukan Penyelenggara Pemilu ke DKPP. Sebab jika tidak dapat dibuktikan legal standing pengadu, maka pengaduan harusnya dinyatakan tidak dapat ditindaklanjuti atau pengaduan pengadu dinyatakan tidak diterima,” ungkapnya.

Mantan Ketua JPPR Periode 2007-2009

Sementara itu, mantan Ketua JPPR Periode 2007-2009 yang juga anggota Pokja pembentukan Peraturan DKPP ketika itu, Jerry Sumampouw, dalam pendapat dan keterangan ahlinya mengatakan bahwa pembentukan DKPP ketika itu sebenarnya berangkat dari sebuah refleksi kepemiluan di Indonesia yang dianggap perlunya membentuk sebuah lembaga permanen dengan tugas dan fungsi serta kewenangan mengawasi perilaku Penyelenggara Pemilu. 

“Namun pada kenyataanya, hadirnya DKPP dalam empirik dewasa ini justru tak seperti yang dibayangkan saat itu,” kata Jerry Sumampouw.

Terlebih, lanjut dia, banyak putusan DKPP yang telah dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara seperti salah satu contoh dalam kasus Evi Novida Ginting Manik. 

“Ini merupakan preseden buruk, sehingga diperlukan reformulasi kelembagaan DKPP untuk ke depannya,” jelasnya.

Terkait proses rekapitulasi penghitungan perolehan suara oleh KPU, Jeirry menyebut bahwa itu sifatnya berjenjang secara hierarkis dan harus ditetapkan dalam Rapat Pleno berdasarkan sifat kolektif-kolegial. 

Dengan kata lain, segala sesuatu yang hendak ditetapkan maupun diputuskan oleh KPU harus dilakukan secara bersama-sama dan tidak dapat dilakukan oleh seorang diri, meski sekalipun itu oleh ketuanya. 

“Ini berarti menunjukkan bahwa ketika ada sesuatu hal yang keliru dari produk yang ditetapkan, maka menjadi tanggung jawab bersama-sama pula. Baik itu kewajiban perbaikan ataupun konsekuensi logis yang harus diterima. Tetapi itu dapat dilakukan pada saat jadwal dan tahapan Pemilu masih belum berakhir,” paparnya.

Lebih lanjut aktivis Pemilu ini mengatakan bahwa penetapan hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara untuk Pemilu DPR RI itu dilakukan oleh KPU  RI, bukan oleh KPU Provinsi. 

“Jika pun ada sesuatu hasil yang perlu diperbaiki semestinya ini juga tak bisa dilepas-pisahkan dengan tanggung jawab KPU RI yang menetapkan hasil akhir suara,” pungkasnya.**

Exit mobile version