PenaKu.ID – Merasa tidak tahan lagi menunggu sesuatu yang dirasakan tidak pasti, terpidana kasus suap pedangdut kondang Saipul Jamil, Rohadi, menyatakan ingin menggugah hati Presiden RI Joko Widodo, agar menanggapi surat pribadinya kepada presiden 16 Juni 2018. Yaitu surat yang menjelaskan duduk perkara kasus yang dihadapinya, sehingga dia merasa telah dijadikan tumbal para hakim dalam kasus ini.
“Saya harap Bapak Presiden menaruh perhatian terhadap kasus saya. Narapidana tidak berdaya yang telah dijadikan tumbal oleh para hakim yang sejatinya adalah pelaku utama kasus suap itu,” ungkapnya.
Dalam pesan tertulis kepada beberapa media, Rohadi mengemukakan, sekarang dirinya sedang menunggu putusan Mahkamah Agung atas sidang-sidang permohonan Peninjauan Kembali (PK) kasusnya. Sidang terakhir PK itu berlangsung empat bulan lalu. Tapi sejauh ini belum ada juga putusan atau vonis dari sidang-sidang PK itu yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA).
Dia mengaku tidak tahu mengapa berkas perkaranya “mangkrak” di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, sehingga setelah menunggu selama empat bulan terakhir ini dia masih belum mendapatkan penjelasannya. Dia juga mengaku tidak tahu apakah hasil sidang-sidang PK itu sudah sampai ke tangan para hakim yang berwenang memutuskan perkara itu di MA.
“Saya sangat berharap mendapatkan putusan yang adil seadil-adilnya dari MA. Apa pun itu, saya mohon para hakim MA mau melaksanakan tanggung jawabnya untuk segera mengeluarkan putusan yang seadil-adilnya sebagai wakil Tuhan di lembaga peradilan negara,” ulasnya.
Dalam surat tulisan tangan yang dikirimkannya kepada kepala negara 16 Juni 2018 dan mendapatkan cap stempat tanda terima dari Setneg 06 Agustus 2018, Rohadi mengungkapkan lima poin penting kepada Presiden RI Joko Widodo.
Pertama, bahwa Rohadi sengaja dikorbankan untuk menutupi pelaku sesungguhnya dari kasus itu, yaitu para hakim di PN Jakarta Utara.
Kedua, bahwa uang dari pengacara Saipul Jamil, Berthanatalia, sebesar Rp. 50 juta dia serahkan langsung kepada panitera Rina Pertiwi SH, yang akan digunakan untuk biaya plesiran hakim-hakim PN Jakarta Utara ke Solo.
Ketiga, bahwa hakim ketua majelis Ifa Sudewi SH sering ketemu di kantornya dengan pengacara Saipul Jamil, Berthanatalia, untuk membahas perkara pelecehan sexual pedangdut kesohor itu.
Keempat, bahwa Ketua PN Jakarta Utara Lilik Mulyadi SH adalah yang memerintahkan mencari dana guna membiayai plesiran para hakim ke Solo.
Kelima, bahwa Rohadi telah disuruh berbohong oleh Hakim Karel Tuppu SH, untuk mengakui sebagai pelaku utama kasus suap itu. Hal itu dimaksudkan untuk menutupi keterlibatan para hakim dalam perkara suap itu.
Rohadi menjelaskan, dengan mengemukakan secara terang benderang duduk perkara kasus itu kepada Kepala Negara, dirinya berharap agar keadilan bisa ditegakkan. Agar presiden mengingatkan para hakim yang berwenang dalam memutuskan perkara itu untuk melaksanakan tanggung jawab dan wewenangnya, sehingga kasus Rohadi ini segera dituntaskan. Dengan demikian, diharapkan agar keadilan bagi Rohadi dapat ditegakkan dengan seadil-adilnya.
Rohadi menambahkan, dirinya mengakui telah melakukan kesalahan secara hukum dengan keterlibatannya dalam kasus suap itu. Tapi dia ingin menjelaskan bahwa dirinya bukanlah pelaku utama kasus itu. Dia hanya sebagai penghubung antara ketua majelis hakim Ifa Sudewi SH dan pengacara Saipul Jamil, Berthanatalia SH. Karena itu, dia memohon keadilan, dengan menghukum dirinya sesuai dengan bobot kesalahannya. Bukan dengan menjalani hukuman sebagai pelaku utama yang merupakan kejahatan orang lain.
“Saya siap dihukum sesuai dengan bobot kesalahan saya. Tapi saya harus katakan bahwa saya bukan pelaku utama dalam kasus ini, sehingga harus dijadikan tumbal sendirian dengan menjalani hukuman tujuh tahun penjara,” katanya.
Rohadi menambahkan bahwa keputusan itu tidak adil. Sebab dirinya hanyalah seorang penghubung, tapi dijadikan tumbal layaknya pelaku utama.
Sedangkan pelaku utamanya sama sekali tidak tersentuh hukum sampai sekarang. Apalagi, setelah empat bulan berakhirnya sidang PK yang dia ajukan, dia juga belum mendapatkan putusan resmi dari MA yang entah kapan akan dikeluarkannya.
( Agz )