PenaKu.ID – Semua umat beragama pasti setuju untuk menolak bahkan menentang segala bentuk terorisme.
Namun demikian fakta juga menunjukkan masih ada sebagian masyarakat yang memiliki pemahaman yang keliru sehingga terjadi pembenaran dengan tindakan terornya.
Beberapa kejadian di tanah air sungguh sangat memprihatinkan dimana tindakan teror juga dilakukan oleh suatu keluarga dengan melibatkan anak – anak kecil yang tidak berdosa.
Sebuah ironi pemikiran di tengah gaung kebersamaan dalam mewujudkan negara yang aman, damai dan tenteram.
Pemerhati Terorisme Dede Farhan Aulawi yang dihubungi melalui sambungan seluler, Selasa (21/1) mengatakan bahwa masyarakat perlu memahami pola – pola yang dilakukan oleh teroris dalam merekrut anggotanya, sehingga mereka atau anggota keluarga serta kerabatnya tidak terlibat ke dalam tindak pidana terorisme. Terlebih di era digital saat ini, kelompok teroris juga sudah memanfaatkannya sebagai sarana untuk merekrut anggota baru sekaligus sebagai sarana untuk melakukan indoktrinasi. Ini perlu diwaspadai oleh semua masyarakat.
“ Anak – anak yang masih polos dan suka dengan berbagai media sosial perlu diingatkan untuk selalu berhati – hati, karena medsos sering dijadikan sebagai instrumen untuk melakukan cuci otak atau brainwashing sebagai cara dalam mencari calon pelaku teror secara mandiri atau dikenal sebagai lone wolf. Termasuk orang yang sedang dalam kondisi kesulitan/ bermasalah, seringkali didekati dan selanjutnya bisa memiliki pemikiran dan keyakinan yang berbahaya “, ujar Dede.
Aksi cuci otak oleh jaringan teroris melalui media sosial saat ini banyak dilakukan karena dinilai lebih efisien dari sisi biaya dan waktu, serta dinilai lebih aman dari jangkauan aparat penegak hukum mengingat yurisdiksinya yang mungkin saja berbeda. Hal tersebut tentu bukan hal yang baru, sebagaimana dilakukan oleh kelompok ISIS di Irak dan Suriah. Bahkan seorang model Inggris Kimberley Miner bisa berubah dari gadis model yang glamor dan suka berpose bugil, sampai menjadi seorang dengan sebutan jihadis. Dia dipersiapkan sebagai ‘Janda Putih’ berikutnya sebagaimana Sally Jones, seorang ibu asal Inggris yang rela mengorbankan hidupnya sebagai jihadis ISIS.
Kisah Kimberley Miner tersebut bisa menjadi pelajaran buat semua agar mewaspadai ajakan orang – orang yang tidak bertanggung jawab.
Dalam kesepiannya setelah mengalami keguguran dan putus dari tunangannya, ia kurang selektif menerima ajakan persahabatan di facebook dari orang yang tidak dikenal sebelumnya. Lalu orang tersebut menyanjung dan memuji – mujinya sehingga Miner menjadi Percaya Diri kembali. Lalu dia diyakinkan untuk mengubah nama menjadi Aisha Lauren al-Britaniya. Akhirnya Miner menjadi endorser ISIS yang menyebarkan aneka konten provokatif ISIS, sampai video aksi-aksi pemboman. Jadi strategi yang dipakai oleh para teroris adalah mendekati sasaran yang sedang mempunyai masalah, lalu didekati, terus seolah – olah bersimpati dan memuji – muji, dan akhirnya seolah memberikan jalan keluar dengan cara yang salah. Inilah yang disebut dengan Echo Chamber Effect (Efek Ruang Gema) yaitu membuat korban seperti katak dalam tempurung agar gampang diubah sikap dan perilakunya, dengan dukungan “lingkungan” yang memang berniat menjadikan dirinya sebagai calon pelaku teror.
Fenomena ruang gema ini menggambarkan pengguna media sosial yang berada di lingkungan pertemanan yang berpikiran serupa. Pendapat, pemikiran, dan komentar yang dilontarkan di ruang itu segera mendapat dukungan dari rekannya dan terus berulang gaungnya. Akibatnya orang yang berada di ruang gema tersebut meyakini pesan yang ada ruang itu adalah sebuah fakta dan kebenaran mutlak. Ini yang sangat berbahaya, dan oleh karena itu harus disadari oleh setiap orang agar terhindar dari ajakan para teroris.
Menarik untuk menyimak apa yang disampaikan oleh Abdul Rahman Ayub, mantan penasihat Jemaah Islamiyah (JI) yang menjelaskan tiga tahapan pola doktrin yang diterapkan beberapa kelompok teroris, yaitu pertama membangkitkan nostalgia kejayaan Islam di era Kekhalifahan. Pemerintahan Islam terakhir runtuh pada Kekhalifahan Ottoman di Turki tahun 1929. Selanjutnya tahap kedua, menampilkan tontonan kekejaman Yahudi dan Amerika Serikat. Termasuk serangan AS di Irak dan Afghanistan serta penjara Guantanamo dengan maksud untuk memunculkan semangat juang mereka. Lalu yang ketiga adalah tahap pendalilan, yaitu menyampaikan dalil-dalil agar menimbulkan keinginan untuk “berjihad”. Termasuk soal hukumnya jika tidak ikut berjihad, soal jemaah dan terakhir adalah soal mati “syahid”.
“ Itulah strategi yang digunakan kaum teroris untuk merekrut kader – kader selanjutnya. Oleh karenanya yang perlu dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat adalah mengetahui dan memahami model rekruitmen anggota sebagaimana dijelaskan di atas, selanjutnya selalu waspada dengan memperhatikan seluruh anggota keluarga kita dan terakhir melaporkan kepada pihak yang berwajib jika melihat adanya indikasi kegiatan terorisme di sekitar kita “, ajak Dede menutup percakapan.
( Red )