PenaRagam

Dede Farhan Aulawi: Sekitar 80% Kecelakaan Transportasi Terkait “Human Factor’s”

IMG 20200122 WA0147
Dede farhan aulawi ( anggota kompolnas RI )

PenaKu.ID – Kisah pilu tentang kecelakaan di jalan raya bukanlah cerita baru, termasuk kejadian terbaru kecelakaan bus di tanjakan emen Subang serta beberapa tempat lainnya.

Sebagian orang memandang hal tersebut sebagai musibah saja, dan sebagian lagi berfikir untuk menyatukan upaya dalam rangka meminimalisir kemungkinan terulangnya kembali kejadian kecelakaan tersebut. Apalagi jika kejadian yang sama terulang kembali di tempat yang sama, artinya membutuhkan pengkajian yang lebih intens dari semua fungsi terkait.

Komisioner Kompolnas RI, yang juga seorang Human Factor’s Trainer Refresentative Dede Farhan Aulawi menyampaikan tanggapannya ketika ditanya awak media di Jakarta, Rabu (22/1).

Menurutnya perlu ada upaya yang sungguh – sungguh dari semua pihak untuk menekan probabilitas terjadinya kecelakaan, baik kendaraan pribadi ataupun kendaraan umum. Apalagi di daerah – daerah yang sering menelan korban dan terus berulang. Pasti ada sesuatu yang harus diperbaiki, sesuai kewenangan dan kemampuan yang dimiliki oleh masing – masing pihak yang berkepentingan.

“ Dalam pendekatan teori, kecelakaan bisa terjadi karena faktor manusia, faktor teknis dan faktor alam/ lingkungan. Namun berbagai penelitian menunjukkan, ternyata lebih dari 80% kontributor kecelakaan adalah faktor manusia, atau yang sering disebut human error. Artinya upaya – upaya harus ditekankan pada usaha untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya human error. Nanti faktor manusia ini harus di-breakdown lagi kaitanya dengan interaksi manusia dengan software, hardware, environment dan manusia lainnya sebagaimana dijelaskan dalam teori SHELL “, kata Dede.

Yang dimaksud software di sini bukan hanya diidentikan dengan program aplikasi komputer saja, melainkan juga termasuk manual, prosedur dan sistem. Salah satunya tentang Sistem Manajemen Keselamatan. Terutama bagi perusahaan- perusahaan angkutan umum agar diwajibkan memiliki Sistem Manajemen Keselamatan ( SMK) tersebut. Apalagi saat ini SMK sudah menjadi pilar pertama Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK) yang dalam pelaksanaannya berpedoman pada Peraturan Menteri No. 85 tahun 2018.

Permen tersebut pada dasarnya merupakan upaya pemerintah untuk memberikan landasan hukum dalam menangani maraknya jumlah kecelakaan yang melibatkan kendaraan angkutan umum. Misalnya dalam pasal 5 disebutkan tentang 10 komponen SMK yang harus dimiliki oleh perusahaan angkutan umum dalam menjamin keselamatan, yaitu komitmen dan kebijakan terkait keselamatan di jalan, pengorganisasian, manajemen bahaya dan risiko, fasilitas pemeliharaan dan perbaikan kendaraan bermotor, dokumentasi dan data, peningkatan kompetensi dan pelatihan bagi sumber daya manusianya, tanggap darurat, pelaporan kecelakaan internal, monitoring dan evaluasi, serta pengukuran kinerja. Jadi berbicara landasan hukum sebenarnya sudah ada, tinggal penerapannya di lapangan saja. Ungkap Dede.

10 Komponen di atas tentu perlu dijabarkan secara konkrit dalam beberapa dokumen, oleh karenanya perusahaan angkutan umum harus mampu menunjukkan komitmen, kebijakan, visi, dan misi dalam menjamin keselamatan di jalan.

Komitmen ini dapat ditunjukkan dengan adanya divisi khusus yang menangani kecelakaan dan prosedur penanganan kecelakaan yang jelas, fasilitas perbaikan kendaraan yang mengalami kecelakaan, dan dokumentasi masa berlaku SIM dan STNK awak angkutan. Selain itu, perusahaan angkutan umum juga harus memiliki upaya meningkatkan kompetensi sumber daya manusianya.

Misalnya membekali pengemudi dengan kemampuan yang diperlukan dalam mengoperasikan kendaraan. Sistem tanggap darurat saat terjadi kecelakaan yang melibatkan kendaraan angkutannya, sistem pelaporan dan pencatatan secara internal mengenai kecelakaan yang melibatkan kendaraan angkutannya, audit dan evaluasi internal terhadap penerapan SMK, hingga pengukuran kinerja SMK. Sanksi ringan hingga pencabutan izin operasional dapat diberlakukan bagi perusahaan angkutan umum yang tidak menerapkan SMK. Ini karena ke depannya SMK akan menjadi syarat beroperasinya sebuah perusahaan angkutan umum.

Di layanan transportasi udara, ada pelatihan yang wajib diikuti oleh setiap orang yang bekerja di bidang penerbangan yaitu pelatihan Human factors dalam rangka meminimalisir kemungkinan terjadinya human error. Namun di moda darat belum tersosialisasikan dengan baik, sehingga Dede berpendapat sebaiknya untuk moda transportasi daratpun, terutama angkutan umum para sopirnya wajib mengikuti training Human factors dulu.

Konsistensi penerapan SMK ini juga perlu di audit secara periodik untuk memastikan bahwa insan transportasi mentaati segala ketentuan yang sudah digariskan. Jangan sampai semangatnya hanya sesaat saja, setelah itu diabaikan lagi. Termasuk harus adanya sangsi yang tegas jika perusahaan tersebut mengabaikan ketentuan – ketentuan yang tertuang dalam SMK. Bila perlu bekerjasama dengan Polri dalam penegakan hukumnya, jika mereka lalai dan abai dalam memenuhi ketentuan perundang – undangan.

“ Beberapa kecelakaan yang terjadi menurut hasil investigasi penyidik lantas Polri dikarenakan karena rem blong. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya bekas rem di sekitar TKP kecelakaan. Pertanyaan kalau rem blong sebenarnya tanggung jawab siapa ? sopir ? montor ? manajer operasi perusahaan ? atau pemilik perusahaan ? Tentu perlu penyelidikan lebih lanjut. Satu spirit yang penting adalah mencegah terjadinya kecelakaan, artinya upaya pencegahan jauh lebih penting “, jelas Dede.

Di samping itu, untuk daerah – daerah tertentu diperlukan evaluasi kemungkinan dibuatnya jalan alternatif yang tidak memiliki tanjakan atau turunan yang tajam dan panjang. Sebab tanjakan yang tajam dan panjang, akan mengakibatkan sistem rem bekerja sangat berat. Untuk kendaraan baru mungkin tidak terlalu masalah, tetapi kendaraan – kendaraan lama bisa menjadi masalah. Ujar Dede menutup perbincangan.

( Red )

Exit mobile version