PenaRagam
Trending

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Tuntut Keadilan Iklim

PenaKu.ID Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai COP 26 atau Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021 yang berlangsung di Glasgow belum mengarah pada jalur yang tepat dalam upaya memenuhi target Perjanjian Paris untuk menjaga suhu bumi tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celsius.

Dari keterangan resmi yang diterima PenaKu.ID, Jumat (05/11/21),  Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Zenzi Suhadi menyebut komitmen penurunan emisi semua negara yang terlibat dalam negosiasi justru mengarah pada kenaikan suhu bumi mencapai 2,7 derajat celsius. Oleh karena pandemi dan diskriminasi akses terhadap vaksin di tingkat global, para negosiator dari negara berkembang banyak yang tidak bisa hadir secara langsung.

Demikian juga dengan perwakilan masyarakat sipil, masyarakat adat, perempuan dan anak muda yang dibatasi ruang geraknya dalam menyampaikan pendapat. Zenzi memandang hal Ini menunjukkan tidak Inklusifnya pelaksanaan COP 26 dan seolah menunjukkan bahwa konferensi tersebut hanya untuk elit.

Di sisi lain, ujar dia, perwakilan dari korporasi dan sektor bisnis justru difasilitasi dan diberi ruang dalam mempromosikan gagasan dan solusi palsu yang berdasarkan pada mekanisme pasar.

Zenzi menuturkan mekanisme perdagangan karbon dan offset emisi atau mengimbangi emisi yang dihasilkan di satu tempat dengan pengurangan emisi di tempat lain adalah bagian dari solusi palsu tersebut.

“Skema perdagangan karbon dan offset emisi merupakan skema keliru karena tidak efektif mengurangi emisi secara drastis dan cepat, tidak menjadikan rakyat sebagai subyek, akan memperluas konflik, perampasan tanah dan memperuncing ketidakadilan. Perdagangan karbon dan offset emisi tidak lebih dari sekedar perampasan ruang hidup rakyat dengan kedok hijau serta menjadi skema greenwashing bagi korporasi perusak lingkungan,” kata dia.

Langkah Indonesia yang seakan mendorong langkah tersebut, lanjut dia, sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di COP 26, hal itu merupakan langkah keliru, yang akan memberi ruang bagi negara utara dan korporasi untuk mengelak dari tanggung jawab penurunan emisi di negara mereka sendiri dengan cara menghentikan penggunaan energi fosil dan moda produksi dan komsumsi yang tinggi emisi karbon.

“Sebagai negara kepulauan dan yang memiliki  hutan tropis nomor tiga terluas di dunia, Indonesia seharusnya mengambil kepemimpinan perundingan iklim, karena selain sebagai bangsa yang akan paling menderita oleh perubahan iklim, jalan keluar krisis iklim ada di nusantara. Presiden selalu menjanjikan kemajuan bagi bangsa ini, tapi dalam perundingan-perundingan Internasional cenderung mengekor,” ucap Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.

Meski demikian, Indonesia juga dituntut untuk menghentikan penggunaan energi kotor batubara.

Zenzi mengungkapakan Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri ESDM turut berkomitmen dan menyetujui poin-poin kesepakatan yang tertuang Global Coal to Clean Power Transition Statement, namun sangat disayangkan Indonesia tidak mau berkomitmen untuk menghentikan Izin pembangunan PLTU baru sebagaimana tertuang dalam poin ketiga deklarasi tersebut.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Minta Pemerintah Kaji Kebijakan

Dia menganggap hal tersebut sangat kontradiktif dengan rencana pemerintah untuk mempensiunkan dini 5,5 GW PLTU batubara dalam 8 tahun ke depan, namun masih akan terus membangun 13,8 GW PLTU batubara sampai 2030 sebagaimana tertuang dalam dokumen RUPTL PLN.

“Pembangunan PLTU batubara baru harus dihentikan, seiring dengan mempensiunkan dini PLTU yang ada. Untuk apa negara ini terus membangun energi kotor, jika suatu saat nanti tidak ada lagi tempat yang layak huni akibat bencana iklim,” sambungnya.

Dia berharap pemerintah harus menyusun ulang kebijakannya dan mengambil fokus pada semangat pemulihan lingkungan dan hak rakyat.

Dikatakannya, jalan terbaik dari aksi penyelamatan iklim adalah dengan cara mengakui, menghormati dan melindungi hak, nilai dan praktik-praktik yang dilakukan oleh rakyat dalam menjaga hutannya.

Negara, disebutknnya, harus berani memaksa korporasi untuk bertanggungjawab atas kerusakan dan kontribusinya terhadap krisis iklim disertai memulihkan kerusakan yang telah mereka lakukan. Negara juga harus berani mengoreksi dan mengubah kebijakan yang meletakan investasi sebagai tujuan utama di atas keselamatan rakyat dan lingkungan hidup.

Menurut Zenzi, aksi ini merupakan bagian dari aksi global untuk menuntut keadilan iklim dan aksi perlawanan atas sikap dan pilihan pengurus negara yang tidak berpihak pada keselamatan rakyat dan lingkungan hidup dengan menjamin adanya solusi berdasarkan keadilan iklim.

Seperti diketahui, aksi nasional ini juga dilakukan serentak oleh Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia di 28 provinsi di Indonesia selama dua hari, 5-6 November 2021.

**

Related Articles

Back to top button