Tutup
PenaPeristiwa

SMSI Jatim Desak Aparat Usut Kekerasan Jurnalis Tempo

×

SMSI Jatim Desak Aparat Usut Kekerasan Jurnalis Tempo

Sebarkan artikel ini
8d78a2d1 c873 491e b1b6 28f780d194c0
ilustrasi

PenaKu.ID – Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jawa Timur mendesak pihak Kepolisian agar segera mengusut kasus penganiayaan terhadap wartawan Tempo Surabaya, Nurhadi. Demikian hal itu diungkapkan Ketua SMSI Jatim Makin Rahmat, senin (29/3).

”Harus diusut tuntas, di dalam pasal 4 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers dinyatakan bahwa kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,” ujar Makin Rahmat,

Terhadap Pers nasional, kata dia, tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, untuk menjamin kemerdekaan pers. Pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi.

”Hak tolak sebagai bentuk pertanggung jawaban pemberitaan, jaminan terhadap kebebasan pers memiliki kausalitas dengan perlindungan wartawan. Tak ada gunanya ada kemerdekaan pers, tapi wartawan tidak merdeka,” ungkapnya.

Menurutnya, dalam melakukan pekerjaan dan kegiatan jurnalistik sesuai tuntutan profesinya, kemerdekaan pers ada dalam rangka agar wartawan dalam menjalankan pekerjaannya untuk memenuhi hak atas informasi (right to information).

Selain itu, sambung dia, ada juga hak untuk tahu (right to know) dari masyarakat yang notabene adalah menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya (obligation to fulfil).

”Karena itulah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 UU 40 Tahun 1999, dinyatakan bahwa dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum,” tandasnya.

Makin mengungkapkan, ada yang mengritik bahwa pasal ini tidak jelas karena dalam penjelasannya hanya dikatakan bahwa perlindungan hukum yang dimaksud adalah jaminan perlindungan pemerintah atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya.

”Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, selain mendapat perlindungan hukum, wartawan juga memiliki hak tolak dalam rangka untuk melindungi narasumber. Tidak semua profesi memiliki hak semacam ini,” ucapnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, menilik Pasal 50 KUHP, maka wartawan sebagai pelaksana UU 40 Tahun 1999 tidak boleh dipidana. Pasal 50 KUHP, menurut dia, secara jelas menyatakan bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang tidak dipidana.

”Karena itulah wartawan terkait tugas dan profesinya tidak bisa disasar UU ITE. Dengan demikian konsep tentang perlindungan wartawan diberikan kepada wartawan yang bekerja secara profesional,” bebernya.

Di sisi lain Makin menuturkan, bukan orang yang kerap mengaku sebagai wartawan tetapi sering menyalahgunakan profesinya untuk melakukan pemerasan, untuk menyudutkan orang yang ujung-ujungnya untuk mendapatkan iklan atau pembuatan berita berdasar kerja sama.

”Bukan orang yang mengaku sebagai wartawan tapi sebetulnya pekerjaannya adalah LSM plat kuning, atau wartawan yang merangkap jadi pengacara dan menggunakan statusnya sebagai wartawan untuk menekan lawan klien atau mendapatkan akses dari panitera,” jelas Makin.

Penentuan produk jurnalistik, kata dia, yang benar bisa merujuk beberapa hal, antara lain karya jurnalistik diproduksi oleh lembaga yang berbadan hukum yang mencantumkan alamat jelas dan penanggungjawab serta bisa dimintai pertanggungjawaban apabila melakukan kesalahan.

”Karya juralistik dibuat oleh wartawan profesional yang menaati KEJ dan bila ada kesalahan mengakomodasi hak jawab, hak koreki, serta permintaan maaf. Pada redaksi media bersangkutan berlaku model pertanggungjawaban air terjun (waterfall responsibilities),” ungkapnya.

Sehingga, imbuh dia, tidak memungkinkan seorang wartawan yang meliput langsung bisa menyebarluaskan berita sekaligus merangkap tanpa proses editing. Ada tembok api yang memisahkan antara urusan redaksi yang lebih bertumpu pada pencarian dan pembuatan berita dengan urusan pencarian iklan.

Baca Juga:

”Saat ini institusi media tengah marak, terutama media online. Ada banyak orang mengaku wartawan. Dengan mudah mereka membuat kartu pers sendiri dan menggunakan nama seram mirip dengan institusi KPK, BIN atau kepolisian,” ujarnya.

Menurut dia, tujuan utama tidak pelak adalah keuntungan ekonomi semata. Institusi media ini tak memenuhi syarat dan standar perusahaan pers.

Perusahaan dikelola ala industri rumah tangga yang kadang melibatkan suami istri dan anak.

”Para wartawannya banyak yang merangkap sebagai pengurus LSM abal-abal, sopir taksi dan lain-lain. Dalam kemerdekaan pers yang sedang kita nikmati ini, mereka adalah para penunggang gelap kemerdekaan pers,” tukasnya.

Dia menambahkan, mandat Dewan Pers jelas, yaitu melindungi kemerdekaan pers. Untuk itulah Dewan Pers membuat MoU dengan kepolisian, kejaksaan dan mendorong MA untuk melahirkan Surat Edaran MA No 1 Tahun 2008. Dalam rangka memberikan perlindungan kepada wartawan.

”Dewan Pers juga membuat MoU dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Selain itu Dewan Pers juga melatih dan menerbitkan sertifikat kepada 105 ahli pers yang terdiri dari wartawan senior dan akademisi di seluruh Indonesia,” kata dia.

Pria yang akrab disapa Makin itu mengatakan, para ahli pers ini bertugas memberikan keterangan ahli dalam penyidikan yang dilakukan aparat kepolisian dan kejaksaan atau tampil dalam sidang di pengadilan.

”Tujuan dari semua itu jelas, yaitu melindungi kemerdekaan pers dan wartawan profesional. Termasuk dari rongrongan praktek abal-abalisme yang tengah marak saat ini,” pungkasnya.

**Red