oleh: kamsul hasan
PenaKu.ID – Ini sebenarnya catatan setahun silam yang direvisi pada diskusi virtual (webinar) Hari Anak Nasional (HAN) 2020.
Perintah Pasal 7 ayat (2) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers wajibkan wartawan memiliki dan mentaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Penjelasan Pasal 7 ayat (2) mengatakan KEJ yang dimaksud adalah hasil kesepakatan bersama. Itu artinya merujuk ke KEJ rumusan 14 Maret 2006 yang terdiri 11 pasal dan disahkan Dewan Pers 24 Maret 2006.
Sebelum lahirnya KEJ sudah ada Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) 6 Agustus 1999, sebanyak 25 organisasi wartawan di Bandung melahirkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), yang disahkan Dewan Pers pada 20 Juni 2000.
KEJ yang sekarang berlaku disahkan 14 Maret 2006 terdiri dari sebelas pasal, sedangkan KEWI hanya tujuh pasal. Selain jumlah pasal, perubahan nama dari KEWI menjadi KEJ disesuaikan dengan perintah Pasal 7 ayat (2) UU Pers.
Salah satu perbedaan antara KEWI dan KEJ adalah kewajiban wartawan menutup identitas korban kesusilaan dan anak yang menjadi pelaku tindak pidana.
Namun status anak masih gunakan Pasal 45 KUHP dan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Anak adalah mereka yang belum 16 tahun dan belum menikah serta menjadi pelaku tindak pidana.
Sementara itu perkembangan hukum sebagaimana UU No. 23 tahun 2002 Jo. UU 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mendefinisikan anak adalah mereka yang belum 18 tahun baik belum maupun sudah menikah.
Dewan Pers pada 9 Februari 2019 pun menetapkan peraturan tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) yang bersumber dari UU Perlindungan Anak dan UU SPPA.
Anak pada PPRA adalah mereka yang belum 18 tahun baik belum maupun sudah menikah. Status anak yang harus ditutup identitasnya bukan hanya anak melakukan tindak pidana tetapi anak berhadapan dengan hukum, termasuk yang menjadi korban atau saksi tindak pidana.
KEJ VS PPRA
Posisi saat ini materi Pasal 5 KEJ terkait perlindungan anak berbeda dengan PPRA. Hal itu terjadi karena sumber hukum yang digunakan untuk menyusun KEJ dan PPRA berbeda.
Pertanyaan saat terjadi benturan, wartawan harus mematuhi Pasal 5 KEJ atau PPRA ? KEJ adalah perintah langsung Pasal 7 ayat (2) sedang PPRA hasil kerja sesuai Pasal 15 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
Terlepas dari masih adanya perbedaan pendapat, sosialisasi koreksi sebagian Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) oleh Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) terasa masih kurang dan harus terus dilakukan.
Masih banyak wartawan yang belum tersentuh perubahan ini. Padahal pelanggaran terhadap PPRA bisa berakibat tersandung UU SPPA.
Pasal 5 KEJ, rumusannya berasal dari definisi anak yang ada pada Pasal 45 KUHP. UU peninggalan Belanda itu mendefinisikan anak, mereka yang belum 16 tahun.
Selain usia anak yang dikoreksi menjadi 18 tahun pada PPRA. Status anak dalam KEJ yang harus dilindungi penyebutan identitasnya adalah mereka berstatus PELAKU.
Sementara anak yang statusnya sebagai korban tindak pidana (kecuali kesusilaan) tidak diatur oleh Pasal 5 KEJ, ini contohnya.
https://regional.kompas.com/read/2019/07/20/14180251/korban-tewas-orientasi-sma-taruna-palembang-jadi-2-orang-gubernur-bentuk-tim?utm_source=Facebook&utm_medium=Refferal&utm_campaign=Sticky_Mobile
Berita di atas, memang menutup identitas korban dengan inisial. Identitas yang dimaksud PPRA dan UU SPPA bukan hanya nama tetapi juga nama sekolah yang dalam berita di atas malah jadi judul.
Pasal 5 KEJ juga tidak mengatur bahwa saksi yang berstatus anak harus ditutup identitasnya, sedangkan PPRA dan UU SPPA memerintahkan. Itu sebabnya berita ini membuka.
https://regional.kompas.com/read/2019/07/16/07000091/6-fakta-tewasnya-siswa-sma-taruna-palembang-dianiaya-pembina-hingga-kepala?utm_source=Facebook&utm_medium=Refferal&utm_campaign=Sticky_Mobile
Contoh berita pada media arus utama di atas menggambarkan bahwa sosialisasi PPRA yang bersumber dari UU SPPA harus terus ditingkatkan.
Bisa juga disimpulkan pengelola news room kurang membaca dan memperbaiki kerja jurnalistiknya karena PPRA sudah menjadi peraturan Dewan Pers.
Sementara kalangan kampus dan pemerhati hak anak mengatakan sosialisasi PPRA dan UU SPPA harus disinergikan dengan pengawasan.
Salah satu saran mereka adalah paralel dengan sosialisasi kepada SDM media, harus dibentuk lembaga independen pemantau media.
Landasan hukumnya sangat jelas. Ada dua UU yang memberikan ruang masyarakat untuk mengawasi media di Indonesia ini.
Peran serta masyarakat diatur Pasal 17 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Hal sama diperintahkan Pasal 52 UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Apakah Forum Puspa yang berada pada lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak akan meluaskan peran dan fungsinya menjadi Lembaga Pemantau Media ?