Sosial

Rutilahu dan Kemiskinan Ekstrem di Kabupaten Bogor Perlu Penanganan Terpadu

×

Rutilahu dan Kemiskinan Ekstrem di Kabupaten Bogor Perlu Penanganan Terpadu

Sebarkan artikel ini
Rutilahu dan Kemiskinan Ekstrem di Kabupaten Bogor Perlu Penanganan Terpadu
Gambar/Ilustrasi

PenaKu.ID – Pengamat menilai antara Kemiskinan dan Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu) di Kabupaten Bogor perspektif yang relevan dan perlu penanganan terpadu oleh Pemda (Pemerintah Daerah).

Pengamat politik dan kebijakan publik yang juga Founder Lembaga Studi Visi Nusantara (LS Vinus), Yusfitriadi, menilai persoalan kemiskinan dan rumah tidak layak huni (Rutilahu) di Kabupaten Bogor Jawa Barat merupakan dua hal yang saling berkaitan dan harus dilihat dari perspektif yang relevan.

Promo
Body Rafting

Paket Body Rafting Pangandaran

Serunya petualangan body rafting dengan harga mulai Rp 70.000. Mau!

pangandaranholidays.com

Pesan Sekarang

Dua Hal yang Relevan, Kemiskinan dan Kemiskinan Ekstrem 

“Ketika kita berbicara kemiskinan, kita harus membedakan antara kemiskinan biasa dan kemiskinan ekstrem. Kalau seseorang memiliki rumah layak tapi tidak bekerja, itu masuk kategori kemiskinan. Namun jika ia tidak punya pekerjaan dan rumah tidak layak huni, itu adalah kemiskinan ekstrem,” ujar Yusfitriadi, Jum’at (20/6/2025)

Menurutnya, pendekatan penyelesaian untuk kedua kondisi tersebut berbeda. Jika persoalannya adalah ketenagakerjaan, maka menjadi domain Dinas Ketenagakerjaan. Namun jika menyangkut kondisi rumah yang tidak layak, maka menjadi ranah Dinas Perumahan.

Perlu Peta Rutilahu dan Perencanaan Tahunan

Yusfitriadi meyakini Bupati Bogor Rudy Susmanto mampu menyelesaikan persoalan Rutilahu selama masa jabatannya, asalkan dua hal utama dilakukan dengan serius.

“Pertama adalah ketersediaan data dan peta Rutilahu di Kabupaten Bogor—berapa jumlah rumah yang tidak layak, siapa warganya, dan di mana lokasinya. Lalu harus ada tahapan penyelesaiannya setiap tahun,” jelasnya.

Ia menegaskan, tanpa data dan peta yang jelas, mustahil masalah ini bisa diselesaikan secara terukur.

Ketersediaan Anggaran Menjadi Kunci

Hal kedua yang dinilai krusial adalah ketersediaan anggaran, baik dari APBD maupun non-APBD. Yusfitriadi mencontohkan, non-APBD bisa berasal dari anggaran pemerintah pusat, provinsi, hingga dana CSR korporasi.

“Kalau peta dan tahapan sudah ada, tapi anggarannya tidak tersedia, baik dari APBD atau non-APBD, saya rasa mustahil bisa diselesaikan,” tegasnya.

Kinerja SKPD Harus Ditingkatkan

Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya peran SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), terutama dalam aspek pengumpulan data dan perencanaan program.

“Kalau semua data sudah lengkap dan tahapan jelas, saya rasa anggaran bisa diusahakan, apalagi dengan banyaknya korporat di Kabupaten Bogor. Tidak harus selalu menggunakan APBD,” katanya.

Namun ia mengingatkan bahwa penyediaan rumah layak saja tidak cukup untuk mengentaskan kemiskinan.

“Kalau rumahnya sudah diperbaiki tapi warganya tidak punya pekerjaan, tetap saja mereka miskin. Jadi aspek pencaharian juga harus diperhatikan,” pungkas Yusfitriadi.**