PenaOpiniUncategorized

Menakar Kerja Sama Indonesia-Prancis, Maslahat atau Mudharat?

×

Menakar Kerja Sama Indonesia-Prancis, Maslahat atau Mudharat?

Sebarkan artikel ini
Menakar Kerja Sama Indonesia-Prancis, Maslahat atau Mudharat?
Nurhayati, S.S.T

Opini: Nurhayati, S.S.T

PenaKu.ID – Kunjungan Emanuel Macron ke Indonesia beberapa waktu lalu membawa angin segar bagi iklim ekonomi di Indonesia.

Promo
Body Rafting

Paket Body Rafting Pangandaran

Serunya petualangan body rafting dengan harga mulai Rp 70.000. Mau!

pangandaranholidays.com

Pesan Sekarang

Pasalnya di antara 27 Nota Kesepahaman yang ditandatangani antara Indonesia-Prancis menyepakati akan kerja sama di bidang hilirisasi nikel. Sebagaimana dikutip dari Tempo.com, (30/5/2025).

Kerja sama ini adalah babak baru sebagai peningkatan investasi, hilirisasi mineral penting yang akan menunjang ekosistem kendaraan listrik, hingga kerjasama dalam penyelesaian Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA).

Selain itu, juga dibahas tentang solusi damai permasalahan Palestina. Kita mengetahui jelas dimana posisi Prancis sebagai salah satu negara adidaya yang turut andil dalam menggelorakan islomphia.

Beberapa kebijakannya sangat menunjukkan tendensi kepada umat Islam seperti pelarangan hijab, kasus kartun yang menghina Nabi, dan kebijakan yang mendiskriminasi komunitas muslim yang ada di Prancis.

Apakah lagi membicarakan isu Palestina, jika komunitas kecil di negaranya saja tidak mencerminkan negara yang “ramah” maka jika berbicara pada konteks global yakni genosida di Palestina. Tentu ini adalah pembicaraan yang skeptis.

Menundukkan kerja sama di atas permusuhan kepada dunia Islam, Dalam dunia Internasional bahwa kerja sama antarnegara adalah sesuatu yang lazim baik berupa kerja sama bilateral dan multilateral. Namun, hari ini di tengah memanasnya permasalahan global seperti genosida di Gaza dan keterlibatan negara-negara besar seperti AS, Prancis, dan Inggris yang diketahui besar peranannya akan eksistensi entitas Yahudi di Tanah Palestina hingga bangsa asli “terusir” dari tanah sendiri.

Belum lagi organisasi dunia sekelas PBB hanya mengeluarkan resolusi-resolusi tanpa makna dan jelas tidak menunjukkan keberpihakan kepada korban genosida yakni Palestina. Two Partition Land atau solusi membagi dua wilayah Palestina adalah solusi omong kosong.

Manakala sumber masalah justru dibiarkan tinggal di tanah rampasan yang mereka diami bahkan klaim milik mereka.

Hari ini kita saksikan penguasa-penguasa negeri muslim hanya mengeluarkan sumpah serapah, mengutuk tanpa aksi nyata mengirimkan tentaranya untuk memberangus penjajah Isriwil. Bahkan, mereka masih bermanis muka di hadapan negara-negara kafir fasilitator berdirinya negara Israel di Tanah Baitul Maqdis.

Menggelitik sekaligus melukai hati rakyat yang mayoritas muslim saat pernyataan Presiden RI akan mengakui negara Israel dengan dalih agar Palestina dimerdekakan. Jelas ini adalah pernyataan yang mengandung ambigu. Di satu sisi kita berkoar-koar untuk kemerdekaan Palestina, namun di sisi lain justru kita mengakui bahkan bekerja sama dengan kroni mereka.

Seyogyanya, sikap tegas dan menunjukkan pembelaan atas kemuliaan agama seharusnya ditunjukkan oleh pemimpin negeri muslim. Apalagi sebagai negara dengan umat Islam yang jumlahnya mayoritas. Namun, dalam sistem sekuler kapitalisme saat ini di mana hubungan negara dilihat berdasarkan kebermanfaatan semata sehingga nilai kemanusiaan tak lagi menjadi pertimbangan. Nyatanya, sulit menjadi negara yang berpegang pada prinsip kesatuan umat Islam sedangkan kita masih pro terhadap negara yang mendukung genosida.

Rakyatnya sibuk boikot produk, penguasanya justru bersanding dengan negara pendukung genosida. Maka penulis sangat setuju akan statement “tak perlu menjadi Muslim untuk membela Palestina, cukup menjadi manusia”.

Bolehkah Negeri Muslim Bekerja Sama dengan Negara Kafir?

Di tengah pro dan kontra kedatangan dan penandatanganan kerja sama Indonesia-Prancis kita melihatnya dari sudut pandang yang shahih, yaitu Islam. Mengenai kebolehan bekerja sama dengan negara lain dalam konteks global.

Dalam Islam, negara-negara di dunia hanya dibagi dua, darul Islam dan darul kufur. Islam juga sudah menentukan tuntunan bersikap terhadap negara kafir sesuai posisi negara tersebut terhadap Daulah Islam.

Tuntunan Islam ini seharusnya menjadi pedoman setiap muslim, terlebih penguasa. Apalagi di tengah penjajahan Palestina yang mendapat dukungan dari penguasa Barat.

Syaikh Taqiyudin an-Nabhani dalam Kitab as-Syakhsiyyah Islamiyah Juz 2 menjelaskan tentang pembagian kaum kafir termasuk cara memperlakukan mereka.

Kaum kafir terbagi dua, yaitu kafir harbi fi’lan dan kafir hukman. Kafir harbi adalah kaum kafir yang telah nyata permusuhannya memerangi Islam. Status negara ini tidak boleh bahkan haram negara Islam melakukan kerja sama dalam bentuk apa pun.

Interaksi yang membolehkan dengan negara ini adalah perang. Boleh bekerja sama jika sudah ada perjanjian damai dengan berbagai perjanjian klausul yang diatur jelas di dalamnya.

Sedangkan kafir hukman termasuk di dalamnya kafir mu’ahid (kafir yang terikat perjanjian dengan Daulah Islam) dan kafir ahlul dzimmah (yang menjadi warga negara Daulah Islam dan wajib membayar jizyah).

Kafir Mu’ahid, Daulah Islam boleh bekerjasama dengan mereka di bidang ekonomi, politik, pendidikan, sosial. Adapun kerja samanya adalah semata-mata untuk kemaslahatan kaum muslimin dan agar tercapai penyebaran dakwah Islam secara luas.

Sebagaimana metode negara Islam dalam penyebaran Islam adalah dengan dakwah dan jihad fisabiliLlah. Kebolehan bekerja sama dengan negara kafir pun bukan didasarkan pada perjanjian damai, toleransi dan HAM. Sebab perjanjian damai melahirkan solusi pragmatis bagi dunia Islam.

Adapun perjanjian atas dasar toleransi seringkali toleransi diartikan dengan memaklumi segala bentuk nilai-nilai keagamaan mereka sehingga bias makna toleransi seperti yang disebutkan dalam QS. Al Kafirun.

Walhasil, dalam kerja sama internasional ini adalah sebagai negara Islam adalah harus merdeka dalam arti tidak bergantung kepada negara lain dan mampu menerapkan Islam secara menyeluruh dan sempurna. Sehingga mampu menentukan sikap kepada negara-negara yang terlibat kerjasama dengannya.

Allah ta’ala berfirman dalam QS Muhammad: 35, “Maka janganlah kamu lemah dan mengajak damai karena kamulah yang lebih unggul dan Allah (pun) beserta kamu dan Dia tidak akan mengurangi segala amalmu.”
Wallahu ‘alambishowab. **