Religi

Malam Satu Suro: Antara Tradisi dan Ajaran Islam

×

Malam Satu Suro: Antara Tradisi dan Ajaran Islam

Sebarkan artikel ini
Malam Satu Suro Antara Tradisi dan Ajaran Islam
Ilustrasi (pexels)

PenaKu.ID – Malam Satu Suro akan diperingati masyarakat Jawa diperkirakan pada Kamis malam, 26 Juni 2025 (mulai setelah waktu Maghrib). Dalam tradisi Jawa, Malam Satu Suro diyakini sarat nuansa mistik dan diwarnai berbagai ritual seperti tirakat, tapa bisu, hingga kirab pusaka. Namun, bagaimana pandangan Islam terhadap malam yang dianggap sakral ini?

Dalam penanggalan Jawa, 1 Suro bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah, yang menandai tahun baru Islam. Umat Islam di seluruh dunia menyambut bulan Muharram sebagai salah satu bulan suci, namun tanpa nuansa mistik seperti yang berkembang dalam budaya Jawa.

Promo
Body Rafting

Paket Body Rafting Pangandaran

Serunya petualangan body rafting dengan harga mulai Rp 70.000. Mau!

pangandaranholidays.com

Pesan Sekarang

Muharram dalam Islam Soal Malam Satu Suro

Dalam Al-qur’an surat At-Taubah ayat 36, disebutkan bahwa terdapat empat bulan haram yang dimuliakan Allah, salah satunya adalah Muharram. Rasulullah SAW bahkan menyebut Muharram sebagai “bulan Allah” dan sangat menganjurkan umat Islam untuk memperbanyak ibadah, khususnya puasa.

“Puasa yang paling utama setelah Ramadan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram,” sabda Rasulullah dalam hadis riwayat Muslim.

Puncak keutamaannya adalah pada Hari Asyura, yaitu tanggal 10 Muharram. Pada hari itu, Rasulullah SAW menganjurkan umat Islam berpuasa karena dapat menghapus dosa setahun yang lalu.

“Aku berharap kepada Allah, puasa pada hari Asyura dapat menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)

Antara Tradisi dan Akidah Malam Satu Suro

Meski bertepatan dengan malam 1 Muharram, sejumlah tradisi dalam peringatan Satu Suro seperti larangan menikah, mandi kembang, atau pantangan bepergian tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam.

Para ulama dari ormas-ormas besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah telah menegaskan bahwa keyakinan terhadap “hari sial” atau malam keramat tergolong praktik tathayyur (takhayul), yang dilarang dalam Islam.

“Barang siapa membatalkan rencananya karena thiyarah (menganggap sial), maka sungguh ia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad)

Islam menekankan bahwa tidak ada hari, bulan, atau malam tertentu yang membawa sial. Segala takdir berada sepenuhnya di tangan Allah SWT.

Ajakan Bersikap Bijak
Para ulama dan tokoh masyarakat mengimbau umat Islam untuk tetap menghormati nilai-nilai budaya selama tidak bertentangan dengan akidah. Tradisi seperti kirab pusaka atau tirakat diperbolehkan selama tidak mengandung unsur syirik atau praktik mistik yang bertentangan dengan syariat Islam.

Sebaliknya, umat Islam dianjurkan menyambut bulan Muharram dengan memperbanyak amal saleh, puasa sunnah, dzikir, serta refleksi diri dalam menyongsong tahun baru Hijriah.

“Islam tidak melarang budaya, tapi meluruskan makna dan menghindari kemusyrikan,” ujar KH Afifuddin, pengasuh sebuah pesantren di Yogyakarta. **