Tutup
PenaOpini

Ketika Kasus Kejahatan Direkayasa

×

Ketika Kasus Kejahatan Direkayasa

Sebarkan artikel ini
Ketika Kasus Kejahatan Direkayasa
Ketika Kasus Kejahatan Direkayasa Oleh:Widdiya Permata Sari (Komunitas Muslimah Perindu Syurga)

PenaKu.ID Banyak kasus yang terjadi di negeri tercinta ini salah satunya yaitu kasus bulliying di sekolahan bahkan korbannya ternyata sampai meninggal, tidak hanya terjadi di satuan pendidikan saja bahkan ditingkat dewasa sekelas tingkat satuan polisi telah terjadi kasus yang sangat memprihatinkan bahkan sampai meninggal pula yaitu seorang ketua menembak anak buahnya sendiri.

Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri, Irjen Ferdy Sambo tampak marah kepada Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat sebelum pembunuhan terjadi.

Sambo menyampaikan kata-kata bernuansa kemarahan dan kekecewaan kepada Brigadir J sebelum memerintahkan Bharada E atau Richard Eliezer menembak J.

Hal ini terungkap dalam video animasi yang dibuat Polri berdasarkan hasil rekonstruksi yang digelar.

Sangat disayangkan kasus tersebut malah ditutupi bahkan polisinya saja merekayasa kasus tersebut dengan sedemikian rupa, sementara sudah jelas bahwa seorang sudah melakukan kekerasan bahkan merencanakan pembunuhan terhadap anak buahnya yang sudah hampir 2,5 tahun berada di lingkungan terdekatnya.

Yang lebih miris dan menyayat hati polisi dengan beramai-ramai menutupi kasus ini sampai sejauh ini hampir 31 orang polisi yang ikut terlibat menutupi kasus ini, tidak hanya itu saja, bahkan mereka sampai menghilangkan barang bukti.

Tindakan Kasus Kejahatan

Padahal sudah jelas-jelas kasus ini adalah kasus kejahatan yang seharusnya di tindak lanjuti dan diberikan hukuman yang setimpal.

Sebanyak 31 orang anggota Polri dikenakan pelanggaran kode etik profesi karena menghambat proses penyidikan kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat.

Manuver 31 polisi itu juga disebut membuat lambatnya proses pengusutan kasus karena menghilangkan sejumlah barang bukti.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengakui bahwa Tim Inspektorat Khusus Polri menemukan hambatan saat menyajikan tewasnya Brigadir Yosua Hutabarat.

Penyidikan timsus sempat kesulitan karena hilangnya CCTV. Jenderal Listyo pun menyebut sejumlah anggota bertindak tidak profesional saat penanganan TKP dan penyerahan jenazah Brigadir J ke pihak keluarga.

Gimana hukum di negara ini akan bersikap adil sementara ketika ada sebuah kejahatan saja dengan mudahnya di lindungi bahkan langsung dilindungi oleh tingkatan polisinya.

Seharusnya satuan polisi itu menegakan keadilan bukan malah melindungi kejahatan. Akhirnya dampak dari semua itu rakyat mulai tidak percaya dengan satuan polisi.

Sangat disayangkan, aparat kepolisian seharusnya menjadi pelindung bagi rakyat, bukan sebaliknya. Bahkan dengan begitu mudah menghilangkan nyawa bahwahannya dengan alasan yang mengada-ngada.

Padahal peringatan Allah untuk mereka yang membunuh tanpa alasan syar’i sangatlah jelas dalam Al-Qur’an :

“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan Allah mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (TQS. An-Nisa: 93)

Peristiwa seperti ini tentu bukan hal aneh dalam rezim kapitalisme. Rezim ini bisa membeli keberpihakan aparat. Siapa yang punya kepentingan dan kekuatan, di bawahnya lah aparat bekerja. Rezim yang melahirkan orang-orang yang tidak peduli halal dan haram demi memuaskan nafsu duniawinya. Rezim yang membawa kerusakan.

Inilah fakta bobroknya mental aparat yang terjadi karena habitat Demokrasi-Sekuler, dimana meniadakan akidah, ketakwaan dan aturan Islam dalam melaksanakan tugas penting pengayom dan pelindung masyarakat.

Janganlah karena dipilih dan dilantik presiden, lalu melupakan tugas dan perannya sebagai alat negara. Aparat adalah alat negara, bukan alat kekuasaan. Dedikasi mereka harusnya untuk negara bukan penguasa. Sebab, mereka dilahirkan dari rakyat

Dalam Islam, Polisi (syurthah) bertugas menjaga keamanan di dalam negeri, di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri (DKDN). Departemen ini mempunyai cabang di setiap wilayah/daerah yang dipimpin oleh kepala polisi (syahib as-syurthah) di wilayah/daerah tersebut.

Polisi (syurthah) dalam Negara Islam (Khilafah) ada 2 yakni polisi militer dan polisi yang berada di bawah otoritas Khalifah/kepala daerah.

Adapun yang boleh menjadi polisi adalah pria dan wanita balig, dan warga Negara Khilafah. Mereka mempunyai seragam tersendiri, dengan identitas khusus untuk menjaga keamanan.

Kepolisian adalah bagian dari militer yang dipilih secara khusus dan diberi pengetahuan khusus. Tugasnya adalah menjaga ketertiban dan menjaga keamanan dalam negeri serta melaksanakan tugas yang bersifat operasional. Lembaga ini dipimpin oleh Amir Jihad.

Polisi dalam negara Islam adalah alat kekuasaan untuk menjaga keamanan dalam negeri. Keberadaannya tentu sangat penting. Baik yang bersifat pencegahan maupuan penindakan.

Beberapa tindakan yang dianggap bisa mengancam keamanan dalam negeri adalah: (1) Murtad dari Islam; (2) Memisahkan diri dari negara; (3) Menyerang harta, jiwa dan kehormatan manusia; (4) Penanganan Ahl ar-Raib.

Dengan tugas dan fungsi tersebut, kepolisian jauh dari kepentingan kelompok, partai atau orang-orang tertentu. Dia bekerja untuk sistem, bukan person, kelompok atau kroni.

Untuk menjalankan tugasnya itu, polisi harus mempunyai karakter yang unik, seperti keikhlasan, akhlak yang baik, seperti sikap tawadhu’, tidak sombong dan arogan, kasih sayang, tindak tanduknya baik, seperti murah senyum, mengucapkan salam, menjauhi perkara syubhat, bijak dan lapang dada, menjaga lisan, berani, jujur, amanah, taat, berwibawa dan tegas.

Sosok polisi yang seperti inilah yang umat dambakan di masa akan datang yang mampu memberikan penyelesaian masalah benar-benar ikhlas menolong masyarakat tanpa melihat kaya dan miskin, tinggi dan rendah derajat mereka karena polisi tersebut bekerja berdasarkan kesadaran akan amanah dari Allah swt.

***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *