PenaKu.ID – Kehidupan di kamp pengungsian bukan hanya tentang kehilangan tempat tinggal, tetapi juga kehilangan privasi, martabat, dan rasa aman.
Samar Ahmed, seorang perempuan Palestina berusia 37 tahun, menghadapi berbagai tekanan yang menumpuk sejak konflik Gaza berlangsung.
Tak hanya menjadi korban pengungsian, ia juga menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yang menciptakan luka fisik dan emosional.
Kehidupan Samar Ahmed: Antara Pengungsian dan Kekerasan
Samar Ahmed tinggal di tenda darurat di wilayah al-Mawasi, Khan Younis, bersama suaminya dan lima anak mereka.
Kehidupan di tenda penuh sesak ini tidak hanya menambah tekanan psikologis, tetapi juga memperburuk konflik dalam keluarga.
Beberapa hari lalu, Samar dipukul oleh suaminya, meninggalkan luka di pipinya yang bengkak dan bercak darah di matanya.
Insiden ini terjadi di depan anak-anak mereka, sebuah trauma yang memengaruhi seluruh anggota keluarga.
Beban Samar tidak berhenti di situ. Dengan kondisi pengungsian yang serba terbatas, ia harus menghadapi anak-anak yang lapar dan kekurangan gizi.
Tenda mereka tidak mampu melindungi dari dinginnya malam, sementara kebutuhan dasar seperti makanan dan gas untuk memasak sering kali tidak tersedia.
Perjuangan Samar Ahmed Mencari Dukungan dan Harapan
Samar mencoba bertahan dengan menghadiri sesi dukungan psikologis bersama perempuan lain di kamp.
Mendengar cerita serupa dari para perempuan yang mengalami kekerasan rumah tangga memberikan sedikit penghiburan baginya. Namun, tekanan sehari-hari tidak kunjung mereda.
Suaminya, Karim Badwan, merasa kehilangan jati diri sejak perang dimulai. Ia mengaku malu atas kekerasan yang dilakukannya terhadap Samar, tetapi tak mampu mengendalikan emosinya dalam kondisi hidup yang penuh tekanan.
Sebelumnya, Karim bekerja sebagai tukang kayu, pekerjaan yang membuatnya merasa produktif dan berguna. Kini, ia harus menghadapi realitas hidup di kamp pengungsian yang tidak manusiawi.
Solusi di Tengah Konflik: Fokus pada Anak dan Komunitas
Di tengah ketegangan, Samar berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Ia mendampingi mereka belajar meskipun fasilitas di kamp sangat terbatas.
Samar percaya bahwa pendidikan adalah jalan keluar bagi masa depan anak-anaknya, meskipun ia sendiri terjebak dalam situasi tanpa kepastian.
Kisah Samar Ahmed adalah potret nyata dari ribuan perempuan Palestina yang menghadapi kekerasan dan ketidakadilan di tengah konflik.
Dukungan psikososial, bantuan kemanusiaan, dan advokasi perlindungan hak asasi manusia sangat diperlukan untuk memberikan mereka kesempatan hidup yang lebih baik.
Sumber: aljazeera
**