PenaKu.ID – Raka duduk termenung di sudut kamar sempitnya, memandangi dinding yang mulai mengelupas.
Hari itu seperti hari-hari sebelumnya, sunyi, penuh renungan, dan sesekali terasa berat di dadanya.
Hatinya terusik oleh kenangan manis yang kini telah berubah menjadi luka yang sulit disembuhkan.
Empat tahun yang lalu, hidup Raka tampak begitu sempurna.
Ia memiliki pekerjaan yang cukup baik dan seorang istri, Mila, yang cantik dan penuh perhatian.
Namun, kesalahan besar yang pernah ia lakukan kini merusak segalanya.
Waktu itu, Raka memutuskan untuk membeli sebuah motor sport mahal.
Ia berjanji kepada Mila bahwa motor itu adalah investasi untuk kebutuhan masa depan mereka, bahkan jika harus mencicilnya setiap bulan.
Namun, masalah mulai muncul ketika pekerjaannya tak lagi stabil.
“Jangan khawatir, aku bisa cari cara,” kata Raka suatu malam ketika Mila bertanya bagaimana mereka akan membayar cicilan bulan berikutnya.
Dengan penuh keyakinan, ia mengambil uang tabungan bersama mereka—yang sebagian besar adalah hasil jerih payah Mila.
Raka merasa dirinya mampu memperbaiki situasi, tetapi realita berkata lain.
Pekerjaannya semakin tak menentu, cicilan motor menumpuk, dan akhirnya mereka terpaksa menjual motor itu dengan harga jauh di bawah nilai aslinya. Sejak saat itu, hubungan mereka mulai retak.
Mila tidak pernah benar-benar memaafkannya. Setiap kali mereka bertengkar, masalah itu selalu dilemparkan ke wajah Raka.
“Kamu ini laki-laki macam apa? Beli motor pakai uangku, tapi akhirnya malah bikin kita rugi besar!” caci Mila suatu malam.
Raka hanya bisa diam. Ia tahu kesalahan itu besar, tetapi apa yang bisa ia lakukan sekarang? Ia sudah berusaha keras untuk mencari pekerjaan baru, bahkan bekerja serabutan siang dan malam.
Namun, Mila tidak pernah melihat usaha itu. Baginya, Raka hanya seorang pecundang yang merusak mimpi mereka.
Hari-hari Raka dipenuhi oleh kerja keras dan penyesalan. Ia memutuskan untuk berubah, menjadi pria yang lebih baik untuk Mila.
Tapi setiap langkahnya terasa percuma. Tidak peduli seberapa keras ia mencoba, di mata Mila ia tetaplah seorang pria gagal.
“Lihat suaminya Siska. Mereka baru beli rumah. Kamu kapan bisa seperti itu?” ejek Mila pada suatu sore.
“Mila, aku sedang berusaha. Tapi ini nggak mudah. Tolong bersabarlah sedikit,” jawab Raka lirih, mencoba menahan emosinya.
“Bersabar? Aku sudah bersabar bertahun-tahun, Raka! Aku capek hidup kayak gini. Kamu cuma janji-janji!”
Raka menghela napas panjang. Setiap kata Mila seperti duri yang menusuk hatinya. Ia ingin membela diri, tetapi ia tahu, tidak ada gunanya.
Mila hanya melihat masa lalu, dan itu sudah cukup untuk menghancurkan setiap usaha yang ia lakukan di masa kini.
Di malam-malam sunyi, Raka sering merenung. Ia mengingat saat pertama kali mereka bertemu.
Mila adalah perempuan yang begitu ceria, penuh kasih sayang. Senyumnya selalu membuat Raka merasa menjadi pria paling beruntung di dunia.
Namun, senyum itu kini telah hilang, digantikan oleh ekspresi dingin dan penuh kebencian.
“Kenapa bisa jadi begini?” bisik Raka pada dirinya sendiri.
Suatu hari, saat sedang bekerja sebagai kurir barang, Raka mengalami kecelakaan kecil. Tidak terlalu parah, tetapi cukup untuk membuatnya pulang lebih awal.
Saat ia tiba di rumah, ia mendengar Mila berbicara dengan seseorang di telepon.
“Aku nggak tahu sampai kapan bisa bertahan, Ma. Aku capek hidup sama Raka. Dia nggak pernah bikin aku bahagia. Aku pikir dia bakal berubah, tapi ternyata sama saja. Kadang aku nyesal nikah sama dia,” suara Mila terdengar jelas dari ruang tamu.
Raka berdiri membeku di depan pintu. Kata-kata itu menghancurkannya. Ia tahu Mila kecewa, tetapi mendengar bahwa istrinya menyesal menikah dengannya adalah pukulan yang terlalu keras.
Malam itu, Raka mencoba berbicara dengan Mila.
“Mila, aku dengar pembicaraanmu tadi. Kalau kamu memang sudah nggak mau lagi hidup sama aku, aku nggak akan memaksa,” katanya dengan suara gemetar.
Mila terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku cuma bilang apa yang aku rasain, Raka. Aku capek hidup kayak gini. Kamu ngerti nggak?”
“Aku ngerti. Tapi aku juga manusia, Mila. Aku nggak sempurna, aku pernah salah. Tapi aku juga berusaha berubah. Aku kerja dari pagi sampai malam, aku nggak pernah menyerah meskipun kamu nggak pernah lihat itu. Apa itu nggak cukup?”
Mila tertawa sinis. “Berubah? Kamu pikir cuma kerja serabutan bisa bikin hidup kita berubah? Aku butuh suami yang bisa diandalkan, bukan orang yang cuma bisa minta maaf!”
Kata-kata itu menjadi titik balik bagi Raka. Ia sadar bahwa tidak peduli seberapa keras ia berusaha, Mila tidak akan pernah memaafkannya.
Cinta yang dulu menyatukan mereka kini telah pudar, digantikan oleh kebencian yang terus tumbuh.
Beberapa minggu kemudian, Raka mengambil keputusan besar. Ia meninggalkan rumah, membawa hanya beberapa pakaian dan barang-barang pribadinya.
Ia tidak lagi ingin hidup dalam bayang-bayang kesalahan masa lalu. Ia ingin memulai hidup baru, jauh dari Mila dan luka yang ia tinggalkan.
Di sebuah kota kecil, Raka menemukan kedamaian yang selama ini ia cari. Ia bekerja sebagai mekanik di bengkel kecil, tempat ia merasa dihargai atas apa yang ia lakukan.
Perlahan, ia mulai membangun kembali hidupnya, meskipun bayangan Mila kadang masih menghantui pikirannya.
Sementara itu, Mila menyadari sesuatu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Tanpa kehadiran Raka, hidupnya terasa kosong.
Semua caci maki dan keluhannya tidak bisa mengembalikan apa yang telah hilang.
Ia merindukan pria yang pernah menjadi cinta sejatinya, tetapi ia tahu bahwa cinta itu telah pudar, dan kali ini, ia sendiri yang harus menanggung akibatnya.
Raka mungkin pernah salah, tetapi ia telah berjuang untuk memperbaiki dirinya. Namun, Mila tidak pernah memberinya kesempatan untuk berubah.
Pada akhirnya, cinta mereka hancur bukan hanya karena kesalahan Raka, tetapi juga karena Mila tidak pernah bisa melihat perjuangannya.
Di kota kecil itu, Raka menemukan dirinya kembali. Ia mungkin kehilangan Mila, tetapi ia tidak kehilangan dirinya sendiri. Dan bagi Raka, itu sudah cukup.
Pesan dari Pena: “Walaupun engkau pernah melakukan kesalahan di masa lalu, bukan berarti kamu tidak berhak untuk hidup bahagia di masa depan, sebab kesalahan bukan akhir dari segalanya dalam kehidupanmu.”