Tutup
PenaPolitik

Buruh Wacanakan Mogok Nasional Bertepatan dengan Pembahasan RUU Ciptaker

×

Buruh Wacanakan Mogok Nasional Bertepatan dengan Pembahasan RUU Ciptaker

Sebarkan artikel ini
Anadolu
Ribuan buruh menggelar aksi unjuk rasa menentang Omnibus Law di Jakarta, Indonesia pada Senin 20 Januari 2020. Dalam aksinya mereka menolak Omnibus Law yang dinilai hanya menguntungkan pengusaha dan investor serta merugikan pekerja di Indonesia, (Siberindo)

PenaKu.ID – Para buruh, Konfederasi dan Federasi Serikat Pekerja mewacanakan bakal menggelar mogok kerja secara nasional untuk menolak Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

Melansir Siberindo, Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan mogok nasional akan dilakukan selama tiga hari berturut-turut mulai 6 Oktober hingga 8 Oktober 2020 yang merupakan jadwal sidang paripurna pembahasan RUU Cipta Kerja.

Kesepakatan itu didapat dari rapat antara Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) serta perwakilan dari 32 federasi serikat pekerja pada Minggu 27 September lalu.

”Dalam mogok nasional nanti kami akan menghentikan proses produksi, para buruh akan keluar dari lokasi produksi dan berkumpul di lokasi yang ditentukan masing-masing serikat pekerja di tingkat perusahaan,” kata Said Iqbal melalui siaran pers, Senin (28/9).

Menurut dia, mogok akan diikuti oleh 5 juta buruh dari ribuan perusahaan di 300 kabupaten dan kota dari 25 provinsi.

Aksi ini melibatkan beberapa sektor industri seperti kimia, energi, pertambangan, tekstil, garmen, sepatu, otomotif dan komponen, elektronik dan komponen, industri besi dan baja, farmasi dan kesehatan, logistik, perbankan, dan lain-lain.

Selain merencanakan mogok nasional, Serikat Buruh juga akan menggelar aksi unjuk rasa setiap hari mulai 29 September hingga 8 Oktober 2020.

Mereka juga akan berunjuk rasa di depan Gedung DPR RI selama berlangsungnya sidang paripurna pada 8 Oktober.

Serikat Pekerja sebelumnya telah berulang kali menolak klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja.

Beberapa poin yang mereka tolak yakni aturan yang memungkinkan status buruh kontrak atau outsourcing tanpa batasan waktu, berkurangnya nilai pesangon, serta hilangnya Upah Minimum Sektoral Kabupaten/kota (UMSK).

Menurut mereka, RUU Cipta Kerja lebih menguntungkan pengusaha dan mengurangi perlindungan terhadap buruh.

”Sejak awal kami meminta agar perlindungan minimal kaum buruh yang ada di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jangan dikurangi,” tutur Said Iqbal.

”Tetapi faktanya omnibus law mengurangi hak-hak buruh yang ada di dalam undang-undang itu,” lanjut dia.



Editor: Js