Tutup
PenaOpini

Gejala Deindustrialisasi dan Tantangan Indonesia Emas 2045

×

Gejala Deindustrialisasi dan Tantangan Indonesia Emas 2045

Sebarkan artikel ini
Gejala Deindustrialisasi dan Tantangan Indonesia Emas 2045
Gejala Deindustrialisasi dan Tantangan Indonesia Emas 2045

Opini: Agus Riyanto, Mahasiswa Magister Ekonomi Terapan UNPAD

PenaKu.IDIndonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar. Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) RI tahun 2024, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2023 lalu mencapai angka 278,7 juta jiwa.

Jumlah tersebut menempatkan negara ini menduduki peringkat empat di dunia, setelah India, China dan Amerika Serikat. Besarnya jumlah penduduk Indonesia menjadikan tantangan tersendiri dalam pembangunan sumber daya manusia menuju Indonesia Emas 2045.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI pada 2019 lalu mengungkapkan bahwa terdapat 4 pilar pembangunan Indonesia 2045. Antara lain ialah pembangunan manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, pemerataan pembangunan, serta pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan.

Pada pilar pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, salah satu aspek yang menjadi titik tolak pembangunan ialah percepatan industri dan pariwisata.

Industri merupakan sektor yang sangat penting dalam pembangunan suatu negara. Sektor industri menopang perekonomian dengan penyerapan tenaga kerja, devisa, serta kontribusinya terhadap pendapatan masyarakat dan kesejahteraan rakyat. Seperti contoh industri tekstil misalnya, pada pelaksanaannya industri tekstil membutuhkan jumlah tenaga kerja yang besar secara nasional. Industri ini juga ikut memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara seperti pajak, energi dan lainnya serta berkontribusi terhadap penambahan devisa negara melalui kegiatan ekspor.

Adanya industri dan kegiatan industrialisasi tentunya berdampak positif terhadap perekonomian suatu negara, termasuk di Tanah Air. Namun demikian, Indonesia menghadapi beberapa gejala deindustrialisasi. Hal itu terlihat dari beberapa faktor termasuk di antaranya yaitu menurunnya kontribusi sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB).

Proporsi nilai tambah sektor manufaktur terhadap PDB mengalami tren penurunan setiap tahunnya. Pada tahun 2023 lalu proporsi nilai tambahnya sebesar 20,3 persen. Angka tersebut turun dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 20,47 persen. Penurunan tersebut terjadi sejak tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2019 lalu proporsi nilai tambah sektor manufaktur masih sebesar 20,79 persen, lalu turun menjadi 20,61 persen pada tahun selanjutnya dan sebesar 20,55 persen pada tahun 2021.

Keberadaan industri sangat strategis dalam memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto, lapangan kerja, devisa, dan transfer teknologi. Namun, kelemahan mendasar sektor industri pengolahan, antara lain impor bahan baku dan bahan penolong, mahalnya biaya logistik, dan tidak mudah memperoleh tenaga kerja yang memiliki kompetensi (Januarta, 2024).

Kelemahan yang ada tersebut menempatkan produk Indonesia dapat saja kalah bersaing dengan produk yang sama dari negara lain seperti China, Thailand atau negara lainnya.

Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan perencanaan pembangunan industri nasional secara sistematis, komprehensif, dan futuristik dalam wujud Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015–2035 (PP No. 14 Tahun 2015).

Adapun visi pembangunan industri nasional adalah menjadi negara industri tangguh yang bercirikan antara lain:

  1. Struktur industri nasional yang kuat, dalam, sehat, dan berkeadilan.
  2. Industri yang berdaya saing tinggi di tingkat global.
  3. Industri yang berbasis inovasi dan teknologi.

Dalam rangka mewujudkan visi di atas, pembangunan industri nasional mengemban misi salah satunya adalah dengan mewujudkan industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian nasional.

Lapangan kerja dan ketersediaannya bagi angkatan kerja sangat dibutuhkan. Ketersediaan lapangan kerja menjadi salah satu yang diharapkan dalam suatu pembangunan perekonomian. Baik itu lapangan kerja pada sektor publik atau pun swasta, ketersediaan lapangan kerja akan mendorong pembelanjaan masyarakat dari pendapatan yang mereka dapatkan.

Selain dari itu, lapangan usaha di Indonesia memiliki beragam variasi. BPS mencatatkan survei pada penggolongan 17 jenis lapangan usaha. Salah satunya yaitu pada sektor manufaktur atau industri pengolahan.

Pada tahun 2020 lalu, Badan Pusat Statistik RI mengungkap bahwa terdapat 588 ribu pemuda usia 15-19 tahun yang bekerja pada sektor manufaktur. Meskipun dalam jumlah yang besar, namun proporsi tersebut masih di bawah sektor pertanian, kehutanan dan perikanan serta sektor perdagangan besar dan eceran. Namun demikian, pada 11 rentang usia yang ditetapkan BPS, industri manufaktur rata-rata terbanyak ketiga jumlah pekerjanya menurut lapangan usaha yang ada.

Pada sektor manufaktur, jumlah pekerja keseluruhannya sebanyak 18 juta jiwa dengan rentang usia pekerja 15 tahun sampai dengan 65 tahun atau lebih.

Pekerja pada industri pengolahan didominasi oleh penduduk dengan usia 30-34 tahun. Hal itu menunjukkan bahwa angkatan kerja untuk sektor industri manufaktur didominasi oleh penduduk dengan kelahiran antara tahun 1986-1990.

Indonesia Alami Bonus Demografi

Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar serta mengalami kondisi bonus demografi.

Bonus demografi merupakan suatu keadaan di mana terjadi peningkatan penduduk sebuah negara pada usia produktif yaitu berkisar antara 16 tahun hingga 65 tahun. Bonus demografi dapat menjadi keuntungan besar bagi suatu negara jika dapat dimanfaatkan dengan baik (Safitri et.al, 2023). Hal itu dikarenakan banyaknya jumlah angkatan kerja atau penduduk usia produktif.

Kondisi bonus demografi tentunya menjadi modal bagi negara Indonesia untuk dapat mencapai tujuan Indonesia Emas 2045 jika dimanfaatkan dengan tepat.

Momentum Indonesia Emas digadang-gadang akan dialami oleh negara Indonesia tepat pada 100 tahun kemerdekaan bangsa. Pada tahun tersebut, Indonesia diwacanakan akan menjadi negara maju dengan tingkat PDB menjadi salah satu terbesar di dunia.

Pada tahun 2045, Indonesia diproyeksikan akan mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7 persen. Peranan industri mencapai 26 persen dengan pertumbuhan sebesar 6,4 persen. Indonesia juga diproyeksikan untuk ke luar dari middle income trap pada tahun 2036.

Bonus demografi yang dihadapi oleh negara Indonesia menyebabkan jumlah penduduk usia produktif yang sangat besar.

Tahun 2023 lalu, jumlah penduduk bekerja pada tahun 2023 mencapai 139,85 juta jiwa (BPS, 2024). Selain itu, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun yang sama sebesar 5,32% dengan tingkat partisipasi angkatan kerja (labor fource participation rate) sebesar 69,48%. Jumlah penduduk usia produktif diproyeksikan terus bertambah kedepannya.

Pada tahun 2045, diproyeksikan jumlah penduduk Indonesia mencapai 318,9 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, rentang usia penduduk usia produktif dimungkinkan untuk mencapai kondisi bonus demografi. Hal itu juga akan mendorong urbanisasi dan pembentukan kota-kota kecil di Indonesia. Pada tahun 2045, jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan mencapai angka 72,8 persen (Bappenas, 2019).

Peningkatan jumlah penduduk usia produktif dapat menjadi modal pembangunan yang sangat besar bagi Indonesia. Hal ini dikarenakan penduduk usia produktif memiliki produktivitas yang tinggi dan dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas apabila bonus demografi yang terjadi dapat disikapi dengan bijak.

Bonus demografi tentu akan membawa dampak sosial-ekonomi. Salah satunya menyebabkan tingkat penduduk produktif yang menanggung penduduk non-produktif akan sangat rendah.

Permasalahan pengangguran dan ketenagakerjaan terus menjadi permasalahan utama di seluruh negara di dunia, terutama di negara-negara berkembang. Persoalan ini merupakan satu kesatuan dan sama-sama menimbulkan dualisme persoalan yang saling bertentangan. Dualisme ini muncul ketika pemerintah gagal memanfaatkan dan meminimalkan dampak dari kedua isu tersebut. Namun, jika pemerintah bisa memanfaatkan surplus angkatan kerja yang ada, maka permasalahan dualisme tidak akan muncul dan justru akan berdampak positif pada percepatan pembangunan. Jika pemerintah tidak mampu memanfaatkannya maka akan berdampak buruk pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi.

Dari sudut pandang positif, tenaga kerja merupakan sumber daya yang sangat penting dalam mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi suatu negara.

Gejala deindustrialisasi yang sudah dihadapi oleh Indonesia ini secara langsung mempengaruhi penerimaan kerja penduduk usia produktif. Pada akhirnya dibutuhkan resolusi bagaimana penyelamatan industri untuk dapat menopang perekonomian nasional.

Pertanyaan yang muncul dari adanya gejala deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia dan tantangan Indonesia Emas 2045 adalah apakah fenomena deindustrialisasi tersebut akan menjadi ancaman terhadap tercapainya visi Indonesia Emas 2045? Pertanyaan ini menjadi penting untuk dikaji mengingat bahwa pada periode tahun Indonesia Emas tersebut negara Indonesia sedang memiliki penduduk usia produktif yang sangat besar.

**