Tutup
PenaRagam

Menyoal Bank Emok, Tertera di KUH Perdata Warisan Belanda

×

Menyoal Bank Emok, Tertera di KUH Perdata Warisan Belanda

Sebarkan artikel ini
Menyoal Bank Emok, Tertera di KUH Perdata Warisan Belanda
Anggota DPRD Kab. Bandung dari Fraksi PKS, H. Dasep Kurnia Gurnadi, SH.

PenaKu.ID – Menyoal bank emok dan renternir yang masih melakukan penagihan di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Level IV, dikatakan anggota DPRD Kabupaten Bandung dari Fraksi PKS, H. Dasep Kurnia Gurnadi, S.H itu bisa dilakukan sepanjang nasabah masih mampu untuk membayarnya.

Kecuali tambah dia, nasabah sudah bangkrut dan sudah tidak mempunyai kemampuan untuk membayar, maka pemerintah harus menjaga hak asasinya dengan membebaskan nasabah dari jeratan hutangnya.

“Dan kalau ada dilakukan penyitaan barang sebagai pelunas hutang, itu bisa dilakukan asal berdasarkan putusan pengadilan,” katanya melalui telepon, Senin (26/7/2021).

Bank Emok Warisan Hukum Belanda

Sebenarnya kalau diterapkan hukum Islam, lanjut dia, memberikan pinjaman dan meminjam uang disertai bunga itu merupakan perbuatan yang diharamkan karena termasuk dalam kategori riba. Salah satunya dengan istilah bank emok.

Tapi karena kita masih menggunakan warisan dari Belanda semasa penjajahan, disebutkannya, ada menjelaskan dalam hukum perjanjian pinjam-meminjam uang adalah Pasal 1754 KUH Perdata, yang merumuskan sebagi berikut; Pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.

Adapun mengenai pinjam-meminjam uang yang disertai dengan bunga, disebutkannya, dibenarkan menurut hukum, hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1765 KUH Perdata, yang merumuskan “bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau barang lain yang habis karena pemakaian”. Sampai berapa besar “bunga yang diperjanjikan” tidak disebutkan, hanya dikatakan asal tidak dilarang oleh undang-undang.

Dasep menuturkan, Pembatasan bunga yang terlampau tinggi hanya dikenal dalam bentuk “Woeker-ordonantie 1938”, yang dimuat dalam Staatblaad (Lembaran Negara) tahun 1938 No. 524, yang menetapkan, apabila antara kewajiban-kewajiban bertimbal-balik dari kedua belah pihak dari semula terdapat suatu ketidak-seimbangan yang luar biasa, maka si berutang dapat meminta kepada Hakim untuk menurunkan bunga yang telah diperjanjikan ataupun untuk membatalkan perjanjiannya (Prof. R. Subekti, S.H., Aneka Perjanjian, hal. 1985: 130).

Bahkan dalam sistem Hukum Adat, imbuhnya, penetapan besarnya bunga lebih liberal, artinya besarnya suku bunga pinjaman adalah sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan (Yurisprudensi Mahkamah Agung, tanggal 22 Juli 1972, No. 289 K/Sip/1972).

Selanjutnya bagaimana kalau nasabah tidak mampu bayar utang, dia menerangkan bahwa dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah mengatur bahwa sengketa utang piutang tidak boleh dipidana penjara.

“Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang,” demikian imbuhnya bunyi Pasal 19 ayat (2).

Lebih lanjut, Dasep memberikan keterangan, jika merujuk Pasal 19 ayat (2), walaupun ada laporan yang masuk ke pihak kepolisian terkait sengketa utang piutang dengn bank emok, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang. 

(ALF)