PenaKu.ID – Penerapan kebijakan pemasangan stiker penanda bagi rumah penerima bantuan sosial (Bansos) di beberapa wilayah kini memicu polemik sekaligus menjadi alat evaluasi data di tingkat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) terkhusus di Kabupaten Bogor.
Para pejabat di tingkat bawah, mengungkapkan adanya kekacauan data penerima bantuan dari pusat yang sudah berlangsung lama.
Masalah Data Ganda dan Sinkronisasi Pusat-Daerah Terkhususnya di Kabupaten Bogor
Seorang pejabat RW di Kabupaten Bogor yang namanya tidak disebutkan, menyatakan frustrasi karena data penerima bantuan yang ditetapkan oleh Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Bogor atau pemerintah pusat seringkali tidak sinkron dengan kondisi di lapangan.
Menurutnya, masalah utama adalah data dari tingkat RT/RW sering diabaikan. Data yang dikumpulkan oleh RT/RW hanya sering digunakan pada masa pandemi COVID-19, namun tidak untuk pembaruan data secara berkala atau permanen.
“Saya juga yang RW bingung, termasuk desa juga geleng-geleng kepala,” ujar salah satu Ketua RW di Kabupaten Bogor, Senin (24/11/2025).
Kondisi ini menyebabkan banyak warga yang secara ekonomi sudah mampu, bahkan memiliki mobil dan rumah besar, masih tercatat sebagai penerima bantuan dari pusat.
Kebijakan Stiker Sebagai Bentuk Evaluasi
Kebijakan pemasangan stiker, yang disebut sebagai instruksi dari Presiden Prabowo Subianto, kini disambut baik oleh pejabat lokal karena secara tidak langsung membantu proses evaluasi data.
Pejabat RT/RW merasa senang karena kebijakan ini membantu menertibkan penerima yang tidak layak. Mereka menjelaskan bahwa ketika stiker akan ditempel, penerima bantuan yang mampu akan merasa malu dan menolak pemasangan stiker tersebut. Penolakan ini kemudian menjadi alasan kuat bagi RT/RW untuk mencoret nama mereka.
“Dengan sendirinya kan malu, kalau yang punya muka mah malu, dia enggak mau ditempelin. Akhirnya kan dengan sendirinya coret. Itu bentuk evaluasi,” jelasnya.
Keterbatasan Kewenangan Pejabat Lokal
Meskipun dapat mencoret penerima yang menolak, pejabat RT/RW memiliki keterbatasan kewenangan. Mereka tidak bisa mengganti atau menukar nama penerima yang dicoret dengan warga miskin lain yang lebih layak dan belum mendapat bantuan.
“Cuman, enggak bisa diganti, Bang. Misalkan kita dapat penerima 40. Yang mampu 25, yang tidak mampu 15. Ya tetap yang kita coretin yang 25. Yang enggak bisa ditukar, enggak,” tegasnya.
Kondisi ini membuat pejabat lokal sering menjadi sasaran protes dan amarah warga karena dianggap tidak transparan atau bertindak diskriminatif.
Program Bansos yang Masih Berlanjut
Ia menyebutkan bahwa program Bansos yang masih berjalan dan jelas adalah Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD). Pejabat lokal menyebutkan bahwa data untuk PKH dan BLT-DD adalah murni data yang berasal dari RT/RW.
Namun, status kelanjutan program bantuan lainnya setelah akhir Desember tahun ini masih belum jelas, menambah ketidakpastian bagi masyarakat penerima bantuan.
Perapian Data Penerima Bansos di Harapkan Efektif Tahun Ini
Para pejabat RT/RW berharap agar perapihan data penerima Bansos ini dapat terlaksana secara efektif di tahun berikutnya. Mereka menyarankan bahwa untuk Bansos non-PKH/BLT-DD, penerima dapat di-rolling setiap tiga bulan sekali melalui mekanisme evaluasi yang disepakati dengan Pemerintah Desa, sehingga bantuan dapat menjangkau lebih banyak masyarakat rentan seperti janda dan jompo.***









