Ekonomi

Kredit Lesu di Tengah Likuiditas Melimpah: Perbankan Tunggu Demand

×

Kredit Lesu di Tengah Likuiditas Melimpah: Perbankan Tunggu Demand

Sebarkan artikel ini
Kredit Lesu di Tengah Likuiditas Melimpah: Perbankan Tunggu Demand
Kredit Lesu di Tengah Likuiditas Melimpah: Perbankan Tunggu Demand(pixabay)

PenaKu.ID – Fungsi intermediasi perbankan Indonesia menunjukkan pelemahan, ditandai dengan pertumbuhan penyaluran kredit atau pinjaman yang lesu. Pada Oktober 2025, pertumbuhan pinjaman hanya mencapai 7,36% secara tahunan (year on year/yoy), turun dari bulan sebelumnya sebesar 7,7% yoy. Kondisi ini terjadi meskipun pemerintah telah mengucurkan likuiditas besar, termasuk penempatan Saldo Anggaran Lebih (SAL) lebih dari Rp200 triliun ke sejumlah bank BUMN dan BPD.

Selain itu, proyeksi Bank Indonesia (BI) menunjukkan optimisme pertumbuhan ekonomi di rentang 4,7% hingga 5,5% untuk tahun ini. Para bankir sepakat bahwa penyebab utama melambatnya pertumbuhan pinjaman ini bukan pada suplai atau likuiditas, melainkan pada sisi permintaan atau demand yang rendah.

Pelaku Usaha Wait and See dan Daya Beli Lemah Kredit

Presiden Direktur CIMB Niaga, Lani Darmawan, mengakui bahwa permintaan pinjaman, baik produktif maupun konsumtif, tidak banyak saat ini. Pihak bank harus realistis dan menghindari pemaksaan penyaluran kredit demi menjaga kualitas aset.

Sementara itu, Presiden Direktur Maybank Indonesia, Steffano Ridwan, menambahkan bahwa rendahnya demand dipicu oleh sikap wait and see pelaku usaha akibat berbagai ketidakpastian, termasuk geopolitik, perang tarif, dan daya beli masyarakat yang belum terangkat kembali. Hanya Bank Tabungan Negara (BBTN) yang mampu mencatatkan pertumbuhan pinjaman, meskipun dalam jumlah yang tidak signifikan.

Kredit Menganggur dan Solusi Makro

Pengamat perbankan, Paul Sutaryono, memperkuat bahwa masalah utama adalah rendahnya permintaan kredit (demand), bukan likuiditas (supply). Lesunya fungsi intermediasi ini sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi nasional yang kurang bernas, yang salah satunya disebabkan oleh daya beli masyarakat (purchasing power) yang lemah.

Akibatnya, barang dan jasa kurang laku, dan yang terjadi adalah peningkatan undisbursed loan (UL) atau kredit menganggur—kredit yang sudah disetujui tetapi belum dicairkan—yang mencapai Rp2.450,7 triliun. Solusi jangka panjangnya adalah pemerintah harus terus menciptakan lapangan kerja lebih banyak untuk meningkatkan daya beli, dan memberantas korupsi agar biaya operasional sektor riil dapat ditekan.**