Ragam

Menjaga Warisan Leluhur: Tradisi Pengobatan Balian Dayak Taboyan

×

Menjaga Warisan Leluhur: Tradisi Pengobatan Balian Dayak Taboyan

Sebarkan artikel ini
Menjaga Warisan Leluhur: Tradisi Pengobatan Balian Dayak Taboyan Bertahan di Era Modern
Menjaga Warisan Leluhur: Tradisi Pengobatan Balian Dayak Taboyan Bertahan di Era Modern/(pixabay)

PenaKu.ID – Di tengah gempuran modernisasi dan pengobatan medis berbasis teknologi, masyarakat Dayak Taboyan di pedalaman Kalimantan Tengah masih teguh memegang tradisi penyembuhan leluhur.

Di wilayah Desa Panaen, Kabupaten Barito Utara, sosok balian (penyembuh tradisional) tetap menjadi sandaran utama warga untuk mengatasi berbagai penyakit, baik fisik maupun gangguan jiwa.

Fenomena ini menjadi topik diskusi peneliti dari Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PR AK) BRIN. Peneliti Muda BRIN, Setyo Boedi Oetomo, memaparkan eksistensi pengobatan tradisional ini yang masih berbasis kepercayaan lokal Kaharingan.

Menurutnya, tradisi ini bertahan bukan hanya karena kepercayaan, tetapi juga karena kebutuhan mendesak akibat keterbatasan akses kesehatan modern.

Keterbatasan Medis Sebagai Alasan Eksistensi Suku Dayak

Setyo Boedi Oetomo menjelaskan bahwa lokasi penelitian mereka, Desa Panaen, membutuhkan sembilan jam perjalanan darat dari Palangka Raya.

Akses jalan Trans-Kalimantan sebagian rusak akibat aktivitas tambang dan sawit. “Pengobatan tradisional di pedalaman masih sangat dibutuhkan karena keterbatasan fasilitas medis modern,” ungkap Boedi, Minggu (26/10/2025).

Rumah sakit terdekat berjarak ratusan kilometer, menjadikan balian dan bidan kampung sebagai penolong utama. Tim peneliti BRIN harus menerapkan pendekatan partisipatif dan menghormati adat setempat agar diterima masyarakat dan bisa mendokumentasikan pengetahuan lokal ini.

Ritual, Kosmologi, dan Sinkretisme Suku Dayak

Peneliti BRIN lainnya, Mustolehudin, menguraikan prosesi ritual balian bakawat yang bisa berlangsung tiga hari dua malam. Ritual ini dipimpin balian dawo (laki-laki) atau balian dadas (perempuan) dan menggunakan berbagai media seperti kelapa, beras, telur, janur, serta patung saradiri sebagai media pemindah penyakit, diiringi musik tradisional.

Joko Tri Haryanto menambahkan, kosmologi Dayak Taboyan membagi dunia menjadi tiga lapisan (atas, tengah, bawah). Penyakit dianggap sebagai tanda rusaknya relasi manusia dengan roh penjaga alam.

Menariknya, ditemukan adanya sinkretisme, di mana banyak mantra pengobatan menggunakan idiom Islam seperti basmalah dan syahadat, menunjukkan adaptasi tradisi Kaharingan.**