PenaKu.ID – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terus menggencarkan berbagai strategi untuk mewujudkan masyarakat yang adaptif dan tangguh terhadap ancaman bencana gempa bumi dan tsunami.
Di antaranya melalui Sekolah Lapang Gempabumi dan Tsunami (SLG) serta Program Tsunami Ready Community di seluruh penjuru Indonesia.
“Dua strategi tersebut menjadi senjata kami untuk mewujudkan target zero victim dengan mendorong kesiapsiagaan masyarakat, selain tentunya pengembangan dan penguatan teknologi sistem peringatan dini,” ungkap Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam Aceh International Workshop and Expo on Sustainable Tsunami Disaster Recovery yang diselenggarakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta bekerja sama dengan Universitas Syah Kuala, Rabu (11/10/2023).
Dwikorita yang hadir secara daring menyampaikan bahwa kesenjangan pengetahuan di masyarakat mengenai gempa bumi dan tsunami coba diisi BMKG dengan menggandeng pemerintah daerah dan BPBD, melalui SLG dan Program Tsunami Ready Community.
Harapannya, kata dia, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana tidak panik karena terampil apa yang harus dilakukan jika bencana gempa bumi dan tsunami terjadi sewaktu-waktu.
Di SLG, kata Dwikorita, BMKG memberikan informasi mengenai potensi bahaya gempa bumi dan tsunami di daerah pelaksanaan. BMKG juga membantu pemerintah daerah setempat dengan memberikan Peta Bahaya Tsunami di lokasi pelaksanaan. Hal ini bertujuan agar sebagai acuan pemerintah daerah dalam menyusun mitigasi gempabumi dan tsunami di daerahnya.
Sementara, Tsunami Ready Community adalah program peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi ancaman tsunami dengan berbasis pada 12 indikator yang telah ditetapkan UNESCO-IOC. Tujuannya, menyiapkan masyarakat agar senantiasa siap siaga dan tidak gagap dalam menghadapi ancaman gempabumi dan tsunami.
Selain itu, guna mewujudkan SAFE OCEAN, salah satu outcome dari UNDecade for Ocean Science.
BMKG Berupaya Wujudkan Early Warning, Early Action
Dwikorita mengatakan peristiwa Tsunami Aceh, Tsunami Palu serta Selat Sunda menunjukkan bahwa selain membangun sistem peringatan dini yang cepat, tepat, dan akurat, juga dibutuhkan kesigapan masyarakat dalam merespon peringatan dini tersebut. Maka dari itu, BMKG juga terus berupaya mewujudkan “Early Warning, Early Action” guna semakin meminimalisir risiko bencana.
“Waktu kedatangan tsunami berbeda-beda di setiap wilayah, sangat lokal. Tsunami Palu hanya butuh 2 menit setelah gempa, sementara di tempat lain waktu tiba tsunami bisa 30 menit atau lebih lama. Oleh karenanya, kami ingin masyarakat bisa memanfaatkan golden time sebaik mungkin untuk menyelamatkan diri. Karenanya, kami mendorong kepada masyartakat yang tinggal di wilayah pesisir untuk segera berlari ke tempat aman pada elevasi yang lebih tinggi, begitu merasakan goyangan gempa bumi, tanpa harus menunggu peringatan dini,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Dwikorita mengatakan bahwa BMKG juga terus mendorong pelestarian kearfian lokal masyarakat mengenai bencana alam lewat SLG. Smong di Simeuleu Aceh, Bomba Talu di Palu, dan Caah Laut di Lebak adalah sedikit dari sekian banyaknya kearifan lokal masyarakat yang bisa dimanfaatkan sebagai mitigasi bencana alam. Smong di Simeuleu Aceh, tambah dia, bahkan telah terbukti mampu menyelematkan banyak nyawa saat bencana gempabumi dan tsunami di Aceh, 2004 silam.
“Kami sadar tidak bisa bekerja sendiri, maka dari itu kami terus menjalin kerja sama dan mendorong kolaborasi pentahelix antara pemerintah, akdemisi/ilmuwan, pihak swasta, masyarakat dan media untuk mewujudkan zero victim,” tuturnya.
Dwikorita menekankan bahwa seluruh program yang digulirkan BMKG menerapkan prinsip keberlanjutan, mengingat bencana gempa bumi dan tsunami tidak dapat diprediksi kapan akan terjadi. Hal ini penting agar sistem peringatan dini tetap diperkuat dan sesuai dengan kemajuan teknologi, seiring dengan penguatan kesiapan dan ketangguhan masyarakat sebagai subjek.
***